Aneh,
janggal dan sedikit menggelikan. Itulah kesan ketika Menteri Dalam Negeri, Tjahjo
Kumolo mewacanakan kembali tentang pemberian subsidi bagi parpol. Bahkan, di
luar nalar wajar ketika subsidi dari APBN itu mencapai Rp 1 triliun per tahun
bagi setiap parpol sesuai perolehan suara saat pemilu. Fantastis memang, dan
tak aneh jika bikin “ngiri” bagi sebagian tokoh organisasi massa.
Salahudin Wahid, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dalam akun twitter-nya
berkomentar: ”Tjahjo Kumolo usul supaya partai dapat
anggaran Rp 1 triliun per tahun. NU dan Muhammadiyah juga perlu dapat anggaran
sebesar itu.”
Kelakar
dari adik kandung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu tidak hanya sekedar. Gus
Solah berkomentar merepresentasikan wajah seluruh masyarakat NU: rakyat
Indonesia. Rakyat yang selama ini hanya menjadi korban, sekali lagi korban.
Korban pilot projec kebijakan, korban ketika mereka hanya ditempatkan
sebagai sumber dukungan politik, sumber legitimasi penguasa dan eksploitasi
pengusaha. Wajar jika gagasan yang tampak mulia dari politikus PDI-P itu berbuah
kritik di mana-mana, termasuk di media sosial. Netizen banyak
mengkritik, bahkan mengecam rencana itu.
Terbukti
dari hasil riset yang dilakukan Band-It periode 9-16 Maret 2015, persoalan dana
parpol ini mendapat sentiman negatif 14.9% dan sentimen positif hanya 2.9% dari
keseluruhan isu politik. Artinya, masyarakat kita tidak menghendaki rencana
pemberian subsidi kepada parpol dengan berbagai macam alasan. Dalihnya pak
menteri memang mulia, yakni untuk mengikis budaya korupsi yang selama ini
bersarang dan beranak pinak di tubuh parpol. Berdemokrasi di zaman ini mahal
dan itulah salah satu – jika bukan utama – penyebab marakanya korupsi politik.
Simaklah,
berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang kandidat politik untuk
memperoleh “tiket” pencalonan dari parpol, menyewa konsultan politik, kampanye
lapangan balanja iklan, atau bahkan “memainkan” politik uang. Banyaknya pejabat
atau politikus yang terjerat kasus korupsi menjadi penegas bahwa sebagian dana
yang dikumpulkan itu melalui cara-cara ilegal: korupsi. Persoalan pengelolaan
uang di tubuh parpol memang selalu remang-remang. Itu sejalan dengan tesis Adam
Przeworski (2007) bahwa sesuatu yang luput dari perhatian dalam demokrasi
modern adalah mengenai akses dan penggunaan dana berpolitik.
Berpartai
politik memang membutuhkan topangan dana. Kita mengapresiasi gagasan bantuan
subsidi parpol oleh negara., karena memang teks undang undang mengakomodir
tentang itu. UU No 2/2011 tentang Partai Politik menyebut sumber dana parpol
yang legal berasal dari: iuran anggota, bantuan negara (APBN dan APBD), dan
sumbangan pihak luar (swasta) yang tidak mengikat. Pembiayaan parpol oleh
negara sudah dilakukan, seperti di Jerman, Swedia, Israel, Kanada, Australia,
Austria, Spanyol, Prancis, Jepang, Meksiko, dan Belanda.
Menurut
survei ACE Electoral Network terhadap 180 negara, sebanyak 58% negara membiayai
parpol melalui anggaran negara. Pembiayaan itu dapat dialokasikan melalui hibah
langsung maupun pembiayaan tak langsung. Namun, pembiayaan parpol di beberapa
negara ini tidak bisa serta merta diterapakan, mengingat Indonesia memiliki
konteks sosial, politik, budaya dan ekonomi yang berbeda. Kita memang membutuhkan
parpol yang mandiri dan tidak korupsi sebagai infrastruktur bagi penyangga
tegak demokrasi. Jika parpol kita sehat maka demokrasi akan semakin
bermartabat.
Persoalan
dana parpol harus melibatkan kajian serius dari berbagai macam aspek dan multiplier
effect yang ditimbulkan. Selain manajeman keuangan yang kredibel,
transparan dan akuntabel, hal penting lain yang perlu dipertimbangkan adalah
sejauh mana kesiapan “budaya politik” parpol kita. Kekagetan parpol dalam
menerima dana RP 1 triliun hanya akan menjebak suasana kejiwaan elite politik
untuk menyimpangkannya. Dalih agar tidak korupsi belum sepenuhnya bisa
dijadikan justifikasi bagi pemerintah untuk membiayai parpol.
Belum
ada riset ilmiah yang membuktikan bahwa pendanaan parpol oleh negara menurunkan
angka korupsi politik. Sebaliknya, kita khawatir jika pendanaan parpol itu
justru akan membuat parpol berjamaah “membunuh” demokrasi dengan membiarkan
diri mereka terjerembab ke dalam lubang kartelisasi. Alangkah baiknya jika
wacana pak menteri itu, selain bersandar pada “teks” undang-undang juga perlu
berkiblat pada“konteks” budaya politik parpol kita saat ini. Jangan sampai
wacana dana parpol itu hanya mengisahkan aib berpartai politik. Tragis!!
Tag :
Polhuk
0 Komentar untuk "Subdisi Parpol, Antara Teks dan Konteks"