Hak Angket dan Masa Depan Koalisi Merah Putih



Keputusan Kemenkumham yang mengakui kubu Agung Laksono membuat Aburizal Bakrie gerah. Berbagai manuver dilakukan untuk mempertahankan posisinya. Namun permasalahan Golkar saat ini semakin tak berujung. Tak hanya menyeberang ke ranah hukum melalui gugatannya ke PTUN, permasalahan Golkar ini kian merembet ke DPR melalui hak angket yang diusung oleh Koalisi Merah Putih. 


 Usulan hak angket tersebut diserahkan kepada Ketua DPR Setya Novanto pada Rabu 25 Maret, dengan diteken 116 anggota dari 5 fraksi yang terdiri dari Golkar, Gerindra, PKS, PAN dan PPP. Persoalan hak angket ini memang cukup pelik, dari satu sisi , kubu KIH mengklaim bahwa persoalan internal partai seperti yang terjadi di Golkar dan PPP adalah permasalahan internal yang seharusnya diselesaikan secara internal partai tanpa masuk ke dalam lingkup DPR. 

 Koalisi Merah Putih, berpandangan bahwa dalam keputusan Menkumham terhadap Golkar (dan PPP), Menteri Yasonna diduga melakukan pelanggaran dalam membuat keputusan terkait dua partai politik—sementara itu partai politik merupakan alat yang mewakili kepentingan rakyat, sehingga harus diperjuangkan melalui DPR.  Menkumham dianggap melanggar aturan dan menabrak UU tentang parpol dimana dalam UU parpol mahkamah partai  lebih berkuasa secara tegas, namun hal itu tidak di indahkan oleh Menkumham sehingga lahirlah konflik Golkar dan PPP.

Menurut UU, syarat digulirkan hak angket adalah adanya suatu keadaan yang memicu konflik secara langsung di masyarakat akibat keputusan tersebut. Dalam hal ini Golkar maupun PPP berdalih bahwa apa yang dilakukan saat ini adalah membela kepentingan rakyat yang pernah memilihnya, konflik tersebut dikhawatirkan akan memicu konflik antar pendukung partai politik tersebut. 

Akan tetapi, dalam pengusulan hak angket tersebut, kedua partai yaitu Golkar dan PPP dalam keadaan yang tidak solid, hal itu terkait adanya dualisme di dalam parpol yang berdampak hingga anggota di DPR. Dari Koalisi Merah Putih, hanya Partai Gerindra, dan PKS yang kondisinya masih solid.  Partai Golkar sendiri, dari 91 anggotanya di DPR, hanya 55 orang yang ikut menandatangani hak angket. Perpecahan ditubuh Golkar membuat anggota fraksi di DPR terbelah menjadi dua kubu.  Meskipun begitu kubu ARB masih lebih kuat dibandingkan dengan jumlah pendukung Agung Laksono. Hal yang sama terjadi pada PPP, hanya 2 orang anggota yang turut menandatangani hak angket. Hal itu tentu mengurangi kekuatan KMP dalam memperjuangkan hak angket. 

Mengukur kekuatan tersebut, di atas kertas KMP akan terasa berat memperjuangkan hak angket. Akan tetapi hal tersebut bisa saja berubah, hingga dilaksakannya sidang paripurna yang akan datang. Salah satu kelemahan perpolitikan Indonesia adalah kedaulatan anggota DPR tidak melekat didirinya secara utuh, sehingga keputusan menyebabkan intervensi yang sistemasis dan tersetruktur secara besar-besaran dari pengurus partai politik. 

Permasalahan tersebut, merupakan ujian berat bagi internal Golkar dan PPP, terlebih lagi bagi Koalisi Merah Putih. Kekalahan dalam hak angket, semakin memperlemah kedudukan KMP di parlemen. Apabila hal itu terjadi, tentu tidak ada jalan lain bagi KMP selain hanya bisa menempuh jalan hukum di pengadilan. Namun, apabila Angket disetujui dalam sidang paripurna nantinya, tentu akan membuka jalan baik bagi Golkar dan PPP sekaligus Koalisi Merah Putih menjadi penyeimbang di DPR.

Melihat konflik tersebut, nampak jelas bahwa pemerintah mempunyai kepentingan tertentu. Pemerintah melalui menkumham melakukan sebuah maneuver secara sistematis dan terstruktur untuk memanfaatkan celah dalam konflik parpol ini. Seandainya memang hal ini yang terjadi, maka sudah pasti mencederai demokrasi di indonesia. KMP di pereteli satu persatu untuk dimasukkan ke dalam lingkaran pemerintah secara ‘halus’. Lalu bagaimanakah nasib KMP? Tunggu saja keputusan sidang paripurna selanjutnya.
Tag : Polhuk

Related Post:

0 Komentar untuk "Hak Angket dan Masa Depan Koalisi Merah Putih"

Back To Top