Ada yang berbeda dalam trend model jilbab di zaman
ini. Jilbab yang lagi trend saat ini sangat didominasi dengan gaya yang santai,
namun tampak elegan. Berjilbab mengartikan pemilihan dan pemaduan motif,
warna-warna kreatif dan fleksibel. Kita bisa melihat jilbab di mall-mall, di
tempat-tempat nongkrong, seperti Starbucks, McDonald, KFC dan tempat-tampat
mewah lainnya. Ya, berjilbab saat ini memberikan kesan kemodernan perempuan. Berbeda
ketika dekade 60’an atau 70’an.
Kehadiran jilbab di tahun-tahun itu masih
dipandang sebagai simbol masyarakat tradisional: kampungan. Budaya kurang
bersahabat dengan jilbab. Tapi zaman telah berubah. Saat ini kita sudah tak
asing lagi dengan pemandangan perempuan berjilbab yang sangat fashionable.
Bahkan berjilbab telah berbaur dengan gaya hidup kelas menengah kota yang lain.
Gairah berjilbab membuatnya menjadi trendsetter. Kreasi jilbab masa kini sangat
bervariasi dengan model yang beragam. Bahkan, saat ini bermunculan tutorial berjilbab
baik secara langsung, majalah atau media sosial seperti twitter, instagram, dan
youtube.
Jilbab yang saat ini menjadi trend itu
sebenarnya memiliki usia yang sangat panjang. Jilbab adalah fenomena yang
berusia purba yang kaya makna dan penuh warna. Ada berjibun makna simbolik
dalam sehelai kain jilbab dengan warna, model, pemakai dan konteks
pemakaiannya.
Sehingga jilbab seolah berbicara tentang titah
sosio-kultural tertentu. Fadwa El Guindi (2003) meletakkannya jilbab dalam
konteks pakaian multidimensi sebagai model komunikasi yang dibangun dari
pengetahuan lintas sejarah, budaya, agama dan lintas gender.
Persoalan jilbab ternyata juga tidak hanya
menjadi milik masyarakat Muslim. Masyarakat Yunani dan Persia (sekarang Iran) pra Islam
pun telah mengenal jilbab. Bagi masyarakat Persia jilbab adalah representasi
dari ekslusifitas kelas yang membedakan antara perempuan kelas bangsawan dan
perempuan biasa. Sementara, jilbab bagi masyarakat Yunani berkaitan dengan
mitologi menstruasi sebagai dosa asal (original sin). Darah menstruasi
diyakini sebagai darah tabu yang menuntut berbagai upacara, ritual dan
perlakuan khusus.
Tatapan mata perempuan menstruasi dipercaya
memiliki kekuatan “mata iblis” yang berpotensi menimbulkan malapetaka. Selain
harus diasingkan secara sosial dalam gubug menstruasi (menstrual huts),
mereka juga diharuskan menjulurkan pakean (baca: jilbab) untuk menutupi anggota
badan sebagai isyarat pencegah iblis masuk ke dalam tubuh perempuan. Begitu
pula, dalam banyak literatur kitab suci agama abrahamik (semitik) telah dikenal
istilah-istilah yang memiliki arti sepadan dengan jilbab. Misalnya, dalam kitab
Injil (Kristiani) ada istilah yang semakna dengan jilbab, yakni redid,
zamah, re’aliah, zaif dan mitpahat.
Begitu pula dalam kitab Taurat (Yahudi) kita
temukan istilah tif’eret. Bahkan, agama Yahudi pernah menjadikan jilbab
sebagai pakaian wajib (obliged dress) bagi perempuan. Membuka jilbab
adalah suatu pelanggaran yang mengakibatkan perceraian, karena dianggap sebagai wujud ketidaksetiaan isteri
terhadap suami. Tidak hanya berhenti di situ, jilbab juga menjadi alat
perlawanan (resistensi) atau pembebasan. Di Aljazair misalnya, jilbab memiliki
peran penting bagi proses kemerdekaan.
Jilbab menjadi bagian dari symbol nasional dan
kultural perjuangan kaum perempuan Aljazair dari penghancuran budaya
tradisional Arab–Aljazair yang dilakukan oleh kolonial Perancis. Berbicara
jilbab memang tidak hanya bicara tentang trend hari ini. Jilbab memiliki
sejarah panjang yang mengartikan antara makna kesalehan, kesopanan dan
perlawanan. Akhirnya, last but not least, berjilbab bagi perempuan zaman
ini haruslah menjadi penanda komitmen bahwa dirinya siap menjaga marwah
ke-perempuan-an.
Tag :
lifestyle
1 Komentar untuk "Sejarah Jilbab, Penuh Warna dan Kaya Makna"
nice info makasih kak keren
media di indonesia