Yaman
kembali bergolak. Konflik bersenjata antara pasukan pendukung pemerintah
Presiden Abed Rabbo Mansour Hadi dan kelompok penentang (oposisi) dari klan Hussein
Badreddin al-Houthi mengisahkan Yaman sedang berada di ambang kehancuran. Konflik
semakin meluas ketika Koalisi Negara Teluk pimpinan Arab Saudi, seperti Bahrain,
Kuwait, Qatar, dan Uni Emirat Arab ikut “bermain api” di Yaman. Pun dengan
kekuasaan luar, seperti Iran maupun negera-negara sekutu Amarika (AS) terlibat
dalam pertarungan serta perebutan pengaruh.
Kondisi
dilapangan memberikan gambaran bahwa pemerintah pimpinan Presiden Hadi sudah
terdesak. Ibu kota Sana'a sudah direbut Houthi. Sekarang pasukan Houthi
bergerak ke selatan, yakni ke Aden, tempat konsentrasi kekuatan Hadi, setelah sebelumnya
merebut wilayah Ta'iz. Bahkan dikabarkan, kelompok Syiah Houthi mengklaim telah
mengambil alih kekuasaan, membubarkan parlemen dan menunjuk sebuah dewan
sebagai presiden. Biar bagaimana pun, konflik dan perang akibat perseteruan
sektarian telah merugikan banyak pihak.
Konflik
dan ketidakpercayaan di antara dua kelompok utama di Yaman, yakni Suni dan
Syiah memang sulit diselesaikan. Namun, jika hal itu dibiarkan terus menerus,
bukan mustahil Yaman akan mengikuti jejak Suriah atau Libia. Kekacauan tatanan
politik dan keamanan di Yaman telah mengakibatkan ketahanan melemah. Yaman akan
menjadi negeri yang tercabik-cabik, menderita bahkan hancur. Mengapa krisis
kemanusiaan akibat perang itu terus berlanjut di Yaman dan mengamcam negera-negara
Timur Tengah lainnya?
Selain
sebagai identitas, harus diakui bahwa agama sering kali ikut berperan sebagai
sumber legitimasi kekuatan pembenar, meskipun kadang tindakan yang “dibenarkan”
itu keliru. David Little dalam Religious Militancy (1996) menyebut
fenomena itu sebagai bentuk intoleransi yang kasar. Hampir senada dengan itu,
Jonathan Fox dan Shmuel Sandler dalam buku Bringing Religion Into International
Relations (2004) menyebut agama sebagai mekanisme pertahanan diri yang
diperlukan. Tak hanya sektarian (agama), krisis kemanusiaan di Yaman juga tak
bisa lepas dari perebutan kekuasaan, dendam kekuasaan.
Kondisi
seperti itu tak pelak lagi akan semakin melemparkan Yaman ke jurang perang
saudara, seperti halnya di Suriah. Kelompok Sunni menuduh peran dan dukungan
Iran terhadap Houthi, sebaliknya kelompok Houthi menuduh Arab berpihak dalam
transformasi Yaman. Atau paling tidak ada lebelisasi, di mana kelompok Syiah
Houthi dipandang sebagai pemberontak tetapi dielu-elukan sebagai pahlawan oleh
para pendukungnya. Sebab, label pemberontak selalu mengandung keberpihakan
ideologis dan pragmatis. Pahahal, labelisasi semacam itu terbukti tidak pernah
membawa penyelesaian yang tuntas dan diterima oleh pihak-pihak bertikai. Ini
yang ditakutkan oleh Presiden Mansour Hadi bahwa baik ekstremis Syiah Houthi
maupun ekstremis Sunni Al-Qaedah
terlibat menghancurkan stabilitas Yaman.
Kita
menanti langkah PBB sebagai cermin masyarakat internasional agar krisis kemanusiaan
di Yaman segera berakhir. Dari krisis kemanusiaan di Yaman kita bisa belajar
betapa mahal nilai persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa dan betapa berharganya
perasaan untuk menghargai perbedaan. Agama bukanlah alasan untuk saling
meniadakan apalagi menjadi alat legitimasi peperangan. Kita harus mampu membaca
dengan perspektif yang lebih jernih tentang krisis politik di Yaman. Duduk
bersama dan berdialog menjadi kebutuhan untuk mengatasi gejolak politik di
Yaman agar terbangun relasi kemanusiaan yang damai, beradab dan lebih
berkeadilan.
Tag :
Polhuk
0 Komentar untuk "Belajar dari Krisis Kemanusiaan di Yaman"