Saya
terkadang berpikir dan ingin bertanya kepada para penyeru khilafah itu. Jika
cita-cita mereka mendirikan khilafah Islamiyah itu benar-benar terwujud, siapa
nanti yang akan mereka baiat sebagai khalifah? Kemudian, di manakah ibu
kota pemerintahan khilafah Islamiyah itu? Mengapa, lho tujuan utama para
penyeru khilafah itukan tegas: “berjihad” untuk mendirikan Negara Islam, seperti
di zaman Nabi Muhammad saw, menurut mereka. Ingat, jika kita belajar tentang
syarat minimal bernegara itu ada wilayah, pemerintahan dan ada pemimpin.
Kita tidak
perlu berdebat tentang ayat, hadis, tentang tafsir yang sifatnya
ideologis-dogmatis. Butuh bertahun-tahun, bahkan sampai lebaran monyet kurang
dua hari pun tidak bakal selesai, karena memang tak jelas ujung pangkalnya. Tetapi
bahwa model “berjihad” dengan kekerasan, kebencian, bom bunuh diri, dan mengkafirkan
yang lain yang tidak sepaham itu telah mengusik pergaulan kemanusiaan. Seperti halnya
fenomena ISIS (Islamic State of Iraq and Al-Sham) atau IS (Islamic
State) yang belakangan ramai (sengaja diramaikan) di media masa.
ISIS
Produk Lokal
Kita
tahu, gerakan ISIS awalnya merupakan gerakan angkatan bersenjata Jamaat
Jaysh Ahl al-Sunnah wa-l-Jamaah (JJASJ) setalah invansi militer Amerika
Serikat (AS) di Irak tahun 2003. Tahun 2006 berubah nama menjadi Islamic
State of Iraq (ISI) di bawah pimpinan Abu Umar al-Baghdadi, kemudian tahun 2010
digantikan Abu Bakar al-Baghdadi. Tragedi Arab Spring yang melanda
kawasan Timur Tengah tahun 2011 menyisakan perang saudara di Suriah. ISI berdiri
membantu kelompok oposisi melawan pemerintahan Bashar al-Assad yang Syiah.
Tahun 2013
ISI kemudian berubah menjadi ISIS (dengan penambahan huruf S yang merujuk pada
Syria/Suriah/Syam). ISIS bercita-cita untuk mendirikan negara dengan cara
menegakkan kekhalifahan Islam di Irak dan Suriah, sekaligus membangun kekuatan
militer sebagai politik perlawanan terhadap dominasi AS di Irak serta
pemerintahan Syiah di Irak dan Suriah. Kendati
secara distansial gerakan ISIS berada jauh di dunia Timur sana, namun ekses
yang ditimbulkan menerabas jauh hingga ke tanah air.
Dikabarkan
penyebaran paham dan rekruitmen anggota ISIS dilakukan melalui 46 ribu akun Twitter
dan situs-situs kelompok Islam radikal. Di media sosial, ISIS juga
menyebarkan video berisi propaganda dan menawarkan nominal uang kepada para
relawan dan pendukungnya. Kita menemukan sejumlah video ISIS di You Tube.
Di dalamnya tergambar sejumlah anak yang berlatih bela diri dan memegang
senjata. Bahkan, ada video ISIS berisi ancaman (ajakan) perang, membunuh
orang-orang yang dianggap kafir dan iblis dalam bahasa Indonesia.
ISIS itu
Musiman
Bagi
yang melihat itu aneh, lucu, dan menggelikan. Apalagi jika melihat “video tandingannya,”
video versi konyolnya. Sepertinya memang tak ada yang perlu dikhawatirkan dari
kemunculan ISIS. Di negeri ini semua ada musimnya. ISIS juga musiman, seperti
musim duku dan durian. Hampir sama dengan musim begal, musim akik, musum
praperadilan, musim angket, musim remisi atau musim konflik partai politik. Kalau
buah-buahan musimnya diciptakan oleh alam, tapi kalau musim ISIS itu bisa
diciptakan.
Bisa
sebagai pengalihan isu, bisa untuk sekedar numpang tenar atau memang murni
politik untuk mendirikan negara Islam. Wallahu alam...!! Tapi paling
tidak, dengan musim ISIS, ada kesempatan polisi kembali ke masyarakat sebagai
pengayom, ada kesempatan masyarakat untuk melihat drama heroik penangkapan atau
penggeledahan rumah teroris. Masyarakat kita ingatannya pendek. Mereka mudah
lupa ketika sudah muncul kasus baru yang diciptakan untuk menggantikan kasus
yang lama. Ingat permainan politik ditentukan oleh persepsi publik.
Sudah
Berpenghuni
Lalu
bagaimana dengan 16 WNI di Turki yang diduga menyeberang ke Suriah untuk
bergabung dengan ISIS? Lho, mereka itukan berniat untuk jihad, menjadi
mujahid, mati syahid, menjadi “pengantin” di surga. Niat itu mulia, tak
perlulah kita halang-halangi. Gitu aja kok repot, kata Gus Dur. Kalau
ada yang tertarik bergabung dengan ISIS itu karena Muhammadiyah dan NU sudah
tidak menarik lagi. Sementara, mau masuk ke Ahmadiyah dan Syi’ah dilarang
karena dianggap sesat.
Soal
negara Islam di Indonesia itu sudah selesai dengan Pancasila. Jika hari ini
masih ada orang atau kelompok yang ragu (tidak mau) dengan Pancasila dan ingin
mendirikan negara Islam, mereka sebenarnya sedang hidup di ruang hampa: kedap
sosial, kedap kultural. Gejala dukungan ISIS dan proyek negara Islam tidak
ditemukan pembenarannya, baik secara normatif, filosofis, historis dan sosial.
Model jihad mereka juga bertolakbelakang dengan watak Islam Nusantara yang
santun, ramah, toleran dan penuh adab.
Pendek
kata, ISIS hanyalah produk impor. Wajahnya boleh jadi baru, tapi sebenarnya
stok lama yang isunya dihembuskan sebagai “strategi wacana” dalam konteks
relasi-relasi kuasa yang tidak berimbang dan manipulatif. Namanya wacana tidak
bakal bertahan lama dan tidak akan laku,
karena Islam Nusantara adalah sebuah rumah yang sudah jelas siapa penghuninya.
Tag :
Polhuk
0 Komentar untuk "ISIS: Wajah Baru, Stok Lama"