Plt Ketua KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi

Kegelisaan publik melihat drama perseteruan antara KPK dan Polri selama satu bulan lebih akhirnya dijawab oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden Jokowi pada Jum’at (20/2) melantik tiga pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK, yakni mantan Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki, Deputi Pencegahan KPK, Johan Budi SP, dan ahli hukum pidana, Indriyanto Seno Adji. Pengangkatan tiga Plt pimpinan KPK ini bersamaan dengan  pemberhentian sementara Ketua KPK, Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto lantaran menyandang status tersangka di Mabes Polri.

Meski putusan itu tidak bisa memuaskan semua pihak, tapi paling tidak ada langkah penegas agar situasi kembali normal – seperti sebelum terjadinya konflik. Tensi politik untuk sementara mereda. Laju pemberantasan korupsi tetap berjalan. KPK terselamatkan dan sinergisitas antara KPK dan Polri bisa diupayakan. Kita mengapresiasi langkah yang bisa kita katakan “win win solution” Presiden Jokowi itu. Biar bagaimana pun dan dalam konsisi apa pun korupsi sebagai musuh bersama (common enemy) harus dilanjutkan. KPK sebagai lembaga tulang punggung rakyat dalam memberantas korupsi harus tetap dipertahankan.

Tantangan
Kini, tantangan yang dihadapi Ruki, Seno Adji dan Johan Budi bersama dua komisioner KPK lainnya, Iskandar Zulkarnaen dan Adnan Pandu Praja tidaklah mudah. Di berbagai media sosial, kritik khususnya terhadap Ruki dan Seno Adji mulai santer terdengar. Latar belakang, rekam jejak dan komitmen anti-korupsi mereka dinilai rendah. Independensi dan potensi konflik kepentingan membuat keduanya diragukan bisa memimpin KPK. Keraguan publik itulah yang harus dijawab oleh Ruki cs dalam waktu 10 bulan mendatang. Upaya hukum untuk meninjau kembali putusan praperadilan hakim Sarpin menjadi tantangan perdana mereka.

Sebab, meski putusan hakim lain belum tentu akan sama dengan putusan hakim Sarpin, gugatan praperadilan akan menjadi “siasat baru” bagi para tersangka dugaan kasus korupsi untuk bisa bebas melenggang dari proses hukum yang menjeratnya. Jika itu terjadi, maka akan menjadi preseden buruk bagi ikhtiar pemberantasan korupsi di negeri ini. Nafas dan energi KPK akan terkuras habis untuk melayani gugatan praperadilan, bukan untuk memberantas korupsi yang sudah sedemikian di luar batas nalar. Karena itu pula Ruki harus bisa mempercepat penuntasan setiap kasus korupsi yang sudah lama “manggantung” di KPK.

Harus diakui bahwa dalam beberapa kasus KPK terlihat mampu bertindak cepat, namun sering kali tidak diimbangi dengan proses penyidikan yang cepat pula. Sepanjang tahun 2014 cukup banyak pejabat, seperti menteri, kepala daerah, anggota DPR, penegak hukum yang ditangkap KPK. Namun, lamanya proses penyidikan membuat kasus-kasus tersebut menguap tanpa ada kejelasan status. Bahkan, masih banyak pejabat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi sampai saat ini belum ditahan. Jika tidak ada langkah progresif dari pimpinan KPK, maka dapat dipastikan korupsi akan semakin menggila.

Publik sebenarnya mengapresiasi upaya KPK dalam mengembangkan operasi tangkap tangan (OTK) dan penuntutan dengan menerapkan pidana tambahan, seperti pencabutan hak politik koruptor. OTK menggambarkan keseriusan KPK dalam membongkar praktik korupsi dalam bentuk suap dan gratifikasi yang kadang hanya bisa diendus dan dibuktikan jika tertangkap tangan. Selain ada kerja nyata karena menangkap tangan transaksi suap, juga dapat langsung ditahan karena alat buktinya mencukupi. Begitu pula, pencabutan hak politik bagi koruptor membuktikan bahwa KPK adalah lembaga anti-korupsi yang bisa memberikan efek jera.

Namun, pemberantasan korupsi tidak bisa hanya mengandalkan OTK atau pencabutan hak politik bagi koruptor saja. Sebab, koruptor sama sekali tidak berminat untuk pasif. Mereka akan memberikan perlawanan, seperti gugatan praperadilan. Upaya delegitimasi atau kriminalisasi terhadap pimpinan dan semua elemen KPK lewat jalur politik dan hukum saat ini begitu mudah dilakukan. Karena itu, proses hukum bagi tersangka di KPK, mulai penyidikan, penuntutan hingga di persidangan harus bisa menjamin adanya kepastian hukum. Akan berbahaya jika ada persepsi yang penting menindak, menetapkan tersangaka dulu, proses hukum belakangan.

Harus Progresif
Di tengah tantangan itulah, Ruki harus bisa menunjukkan progresivitas KPK dalam menangani  kasus korupsi tanpa kompromi. Langkah praperadilan bagi tersangka kasus dugaan korupsi tidak bisa dilakukan ketika pokok perkaranya sudah sampai ke meja persidangan. Lembaga praperadilan sendiri hanya menguji sebatas aspek prosedur dan tidak mengadili substansi perkara, sehingga putusannya sama sekali tidak mengkonfirmasi apakah seseorang salah atau tidak. Jadi, tidak ada alasan sebenarnya bagi Ruki untuk tidak mengusut kembali kasus dugaan kepemilikan rekening gendut Komjen Budi Gunawan (BG).

Sebagai sesama lembaga penegak hukum, sinergisitas KPK dan Polri mutlak dibutuhkan. Tetapi, bukan berarti kasus BG bisa dilimpahkan begitu saja ke Kepolisian. Jika sinyal dari Ruki itu terjadi, maka tidak hanya kredibilitasnya sebagai pimpinan KPK yang akan terlucuti, derajat kepercayaan publik terhadap lembaga yang dipimpinnya itu juga akan merosot tajam. Sebab, institusi Polri selama ini dikenal tidak pernah transparan dalam menangani dugaan kepemilikan rekening gendut yang melibatkan sejumlah petinggi mereka. Polri juga masih diyakini sebagai institusi yang tergolong sulit tersentuh (untouchable) hukum.

Karena itu, Ruki jangan membuang modal kepercayaan dan ekspektasi publik terhadap KPK selama ini. Komitmen moral mereka dalam melawan korupsi harus mendapat apresiasi yang sepadan. Harapan publik untuk membongkar dan memutus mata rantai korupsi ada di pundak KPK. Kepercayaan dan dukungan publik akan terus mengalir bukan saja ketika kasus korupsi tertangani, tetapi juga ditangani oleh lembaga (KPK) yang kredibel dan profesional. Demikian pula Presiden Jokowi, selain harus memperkuat kapasitas kelembagaan, juga harus memastikan bahwa tidak ada lagi kriminalisasi terhadap KPK.


Kriminalisasi dengan berbagai macam bentuk, modus serta begitu mudahnya menersangka-kan pimpinan KPK jelas menjadi lonceng kematian bagi pemberantasan korupsi. KPK di bawah Ruki harus bisa meyakinkan publik bahwa berbagai tekanan dan ancaman apapun sama sekali tidak menciutkan komitmen mereka dalam melawan korupsi. Masa depan pemberantasan korupsi sangat bergantung pada kemampuan komisioner KPK untuk bekerja secara kolektif, progresif dan independen. Selamat bekerja KPK! [Joko/Trendezia]
Tag : Polhuk
0 Komentar untuk "Plt Ketua KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi"

Back To Top