Polemik Eksekusi Mati

Berdasarkan data Band-IT, eksekusi mati gelombang ke dua yang akan dilakukan indonesia, sepertinya masih menjadi isu ‘renyah’ yang diperbincangkan netizen. Terbukti bahwa hal ini menarik perhatian sebesar 5,45% isu dengan sentiment positif sebesar 4,7 % dengan sentiment negative 3,0 %.  Besarnya sentiment positif, menunjukkan besarnya dukungan masyarakat terhadap eksekusi mati, akan tetapi sebagian orang dengan kritis menolak eksekusi mati.

Menjelang dilakukannya eksekusi terpidana mati tahap kedua, geliat penolakan terhadap sikap Joko Widodo semakin kuat dilakukan. Penolakan tersebut dilakukan oleh banyak pihak diantaranya terdiri dari kalangan aktivis hak asasi manusia, akademisi, dan rohaniawan.  Pandangan orang, memang bisa berbeda-beda terkait hukuman ini. Alasannya bermacam-macam,  mengacu kepada dampak kepada dalam negeri maupun luar negeri. Media-media nasional seperti kompas.com dan CNN Indonesia, kini mulai ramai memberitakan tentang opini-opini tersebut. 

Nilai Kemanusiaan
Alasan nilai-nilai kemanusiaan seringkali dipakai oleh beberapa orang untuk menolak dilakukannya eksekusi mati.  Salah satu diantaranya adalah rohaniwan Benny Juliawan, melalui Kompas.com beliau menegaskan bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Presiden Joko Widodo yang mendukung kebijakan itu pun dianjurkan melihat kembali nilai kemanusiaan secara lebih mendalam. “Ada kesan eksekusi mati adalah bagian dari dendam atas apa yang telah dilakukan sesorang terkait perkara hukum berat, entah narkotika, pembunuhan atau yang lainnya”.

Setiap orang mempunyai hak untuk hidup. Mengambil hak hidup manusia atas dasar pembalasan kejahatan manusia tidak akan menyelesaikan permasalahan. Masih menurut Benny, proses dilakukannya hukuman mati di indonesia, akan berdampak banyak bagi mentalitas generasi penerus bahwa kejahatan harus dibalas dengan kejahatan, nyawa dibalas dengan nyawa.

Komisi Nasional HAM, di indonesia sebagai lembaga Negara yang menolak hukuman mati ini. alasannya mengacu pada posisi indonesia yang telah meratifikasi ICCPR melalui legislasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tentang kewajiban negara tidak melakukan hukuman mati. 

Artinya, indonesia harus menerapkan aturan itu sebagai hukum nasional, karena suatu Negara tidak berhak menentukan hidup dan mati seseorang.

Mitos Tentang Efek Jera
Mewakili  kalangan akademisi, penolakan terhadap pelaksanaan eksekusi mati disampaikan oleh kriminolog Universitas Indonesia Iqrak Sulhin, "Persoalan efek jera dari hukuman mati itu hanya mitos yang dipelihara". Memang belum ada kepastian akan menurunnya angka peredaran narkoba di indonesia setelah dilakukannya eksekusi mati. Dari sudut pandang kriminologi, seandainya terjadi penurunan tindak kejahatan setalah dilakukan eksekusi mati, maka itu hanyalah masa para penjahat membaca situasi. Pelaksanaan eksekusi mati bukan lagi persoalan menciptakan rasa jera, tapi hanya dianggap sebagai periode tiarap di mana para penjahat membaca situasi.

Hingga saat ini, memang belum ditemukan ukuran yang pasti mengenai efek jera yang ditimbulkan dari eksekusi mati. Belum ditemukan sebuah fakta yang menyatakan bahwa eksekusi mati dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan. Karena hal tersebut akan berlaku berbeda-beda bagi setiap orang, ada orang yang mengalami efek jera setelah dipenjara, bahkan ada yang tidak takut dipenjara sehingga cenderung mengulangi kejahatannya tersebut.

Putusan Sekehendaknya
Terkait eksekusi mati, Jokowi terlihat begitu ambisius. Melalui Jaksa Agung, jokowi menunjukkan ambisinya untuk segera mengeksekusi para terpidana mati di Indonesia. Hak prerogratif yang melekat pada presiden, seharusnya tidak seenaknya.  Penolakan grasi yang dilakukan oleh presiden terhadap para terpidana mati menimbulkan banyak reaksi, sebagian menganggap hal itu terlalu digeneralisasikan dan tidak objektif pada setiap individu. Dalam perkara hukum semacam itu, seharusnya presiden lebih teliti dan mempunyai banyak pertimbangan.  Terkait pengajuan grasi, setidaknya harus dilihat secara objektif secara individu dan tidak dapat dipandang sama rata antara terpidana yang satu dengan yang lainnya.

Sikap Jokowi terkait eksekusi mati, akan mempunyai dampak ketegangan diplomasi yang sangat kompleks. 
Hal itu nampak dari reaksi brasil dan belanda setelah dilaksanakannya eksekusi tahap pertama. Terlebih lagi, kebanyakan terpidana mati adalah warga negara asing yang berpotensi menimbulkan perselisihan antar negara. Seperti yang sekarang terjadi adalah reaksi pemerintah Australia  terkait eksekusi dua “bali nine” akhir-akhir ini.

Kita dapat menengok bahwa saat ini terdapat terdapat 299 buruh migran di luar negeri, diantaranya 168 berada di Malaysia, 38 di Arab dan 15 di China. Terkait hal itu, indonesia terancam tidak dapat melakukan tawar menawar dalam diplomasi internasional semacam itu.  Mengingat indonesia saat ini tengah menjadi sorotan internasional terkait hukuman mati.

Presiden Joko Widodo tidak menunjukkan perubahan sikapnya terkait negosiasi yang dilakukan oleh berbagai Negara. Sehingga  sangat disayangkan karena indonesai tidak dapat menunjukkan standar hukum dan HAM yang baik. Eksekusi mati dianggap sebagai jalan pintas menyelesaikan masalah daripada memperbaiki system hukum terkait kejahatan narkotika.
Tag : Polhuk
0 Komentar untuk "Polemik Eksekusi Mati"

Back To Top