Kemenangan Budi Gunawan atas
permohonan sidang praperadilan 16 Februari 2015 kemarin sungguh mengejutkan publik. Apakah
keputusan hakim Sarpin Rizaldi itu benar-benar telah mencerminkan praktik hukum
yang seadil-adilnya?
Tulisan ini akan membahas tentang
seputar sejarah baru putusan hakim praperadilan yang menuai banyak pro-kontra.
Sebab kemelut drama Budi Gunawan dalam tiga minggu terakhir menjadi sajian
hangat diberbagai media massa,
sehingga banyak publik yang mengamati. Apalagi
perjalanan Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri telah di bentuk sedemikian rupa
oleh media. Tak salah
jika nama Budi Gunawan, atau biasa disebut BG menjadi tersohor dikalangan
masyarakat.
Mengenal Budi Gunawan
Siapakah sebenarnya Budi Gunawan
tersebut? Ia adalah lelaki cakap kelahiran
Surakarta, Jawa Tengah 11 Desember 1059. Sejak muda ia dikenal cerdas dan
memiliki prestasi bagus dibidang akademik kepolisian. Tak salah jika, Jendral
bintang dua tersebut pada tahun 2008 menjabat sebagai Kapolda Jambi. Bahkan
delapan tahun sebelumnya, ia dipercaya presiden Megawati Soekarnoputri sebagai
Ajudan (2001-2004). Kerja bagus dan bertanggungjawab terhadap setiap
penugasannya, membuat Budi Gunawan pada 2012 di mutasi sebagai Kapolda Bali.
Lulusan
Akademisi Kepolisian tersebut juga dikenal sebagai orang yang peduli terhadap
lingkungan, olah raga dan kegiatan sosial. Pada kepemimpinannya dia sempat
membantu pembangunan lapangan tenis di belakang Markas Koren 042 Gapu, Jambi.
Prestasi-prestasi dan ketegasan Komjen Budi Gunawan tersebut yang membuat
Jokowi tertarik meminangnya untuk menjadi calon tunggal Kapolri.
Namun
siapa sangka, jika keputusan Jokowi tersebut menjadikan bola panas kisruh
KPK-Polri, disebabkan karena Budi Gunawan santer disebut memiliki rekening
gendut, dan tak lama setelah penunjukan Budi Sebagai calon tunggal Kapolri, KPK
menetapkan BG sebagai tersangka. Bahkan gara-gara Budi, banyak orang yang
terseret namanya, seperti Bambang Wijayanto, Abraham Samad dan 12 pegawai KPK
lainnya. Kontroversi berlanjut sampai ketika Budi memenangkan praperadilan dan
gagal dilantik Jokowi. Drama inilah yang membuat nama Budi Gunawan melambung
naik, bak jamur dimusim penghujan.
Putusan Budi Gunawan Populer di
Sosial Media
Hasil riset BAND IT yang
dilakukan pada 16 Februari 2015 menunjukkan bahwa putusan hasil sidang Budi Gunawan
mencapai titik teratas dalam bursa perbincangan nitizen twitter. Belum ada
sehari putusan hakim tentang “tidak sah tersangka” Komjen Budi Gunawan, sekitar
47% nitizen menyinggung dan mengomentarinya. Lalu lintas tersebut jauh lebih
banyak dari pada obrolan tentang kasus Abraham Samad (19%) maupun isu yang
sempat hangat sebelumnya, yaitu KPK-Polri (18%).
Data tersebut menunjukkan bahwa
perhatian publik terhadap isu hukum di Indonesia cukup tinggi. Keinginan publik adalah terwujudknya penegakan hukum yang
adil lagi bijaksana. Hukum bukan lagi tumpul ke atas tajam kebawah, tapi atas
maupun bawah harus tajam. Lantas pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apakah keputusan
Sarpin tersebut apakah sudah mencerminkan harapan publik?
Pro-Kontra Kalangan Akademisi
Petama,
Maqdir Ismail (Media Indonesia, 18 Februari 2015), Advokat dan Dosen
Universitas Al Azhar Indonesia dalam tulisannya “Makna Putusan Praperadilan
Budi Gunawan” mengatakan putusan objek
praperadilan oleh Hakim Sarpin Rizaldi bukan merupakan akta kelahiran kebebasan
hakim dalam menafsirkan UU, melainkan harus dipandang sebagai `sertifikat
kematian' dari kesewenang-wenangan dalam menetapkan status seorang menjadi
tersangka.
Putusan praperadilan ini harus
dianggap bahwa semua orang tidak dapat dijadikan tersangka, direbut
kebebasannya, kecuali dengan proses hukum yang dilakukan secara adil melalui
proses penyidikan. Budi Gunawan adalah salah satu korban yang ‘di-tersangka-an’
oleh KPK. Bagaimanapun keadaanya, hukum harus ditegakkan sesuai prosedur yang
benar mulai dari penyelidikan sampai penetapan tersangka. Bukan penetapan tersangka dahulu baru
diperiksa sambil mencari bukti sehingga putusan praperadilan ini harus dibaca
membatasi kekuasaan penyidik dalam satu proses hukum karena penyidik tidak
dapat disamakan dengan hukum.
Putusan praperadilan dibaca
sebagai kemenangan hokum dan keadilan yang selama ini disembunyakn dibalik
tembok sah atau tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penyidikan. Bahwa KUHAP telah mengatur dan membatasi secara
jelas soal sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyelidikan
atau penghentian penuntutan, yakni dengan ganti kerugian bagi seseorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Anehnya,
tidak termasuk penetapan tersangka, padahal penetapan tersangka itu ialah induk
dari upaya paksa, dengan ditetapkan sebagai tersangka, seseorang dapat
ditangkap, ditahan, dan dituntut.
Syahdan, pengujian penetapan
tersangka melalui praperadilan agar ada tafsir yang jelas atau batasan yang
pasti mengenai keabsahan penetapan tersangka sehingga pelanggaran terhadap HAM
atas nama penegakan hukum tidak terjadi terus-menerus.
Kedua, Fajar
Kurnianto (Republika, 17, Februari 2015), Peneliti Pusat Studi Islam dan
Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, Jakarta dalam tulisannya “Jokowi
Pascakemenangan BG” memberikan
lima alasan hukum mengapa Sarpin memenangkan Budi Gunawan. 1. penetapan
tersangka merupakan objek praperadilan. Sarpin menuturkan, memang di Pasal 77
juncto 82 ayat 1 juncto 95 ayat 1 dan 2 KUHAP serta Pasal 1 angka 10 KUHAP
tidak disebutkan penetapan tersangka termasuk dalam objek praperadilan. Namun,
Sarpin berpendapat bukan berarti jika tidak disebutkan kemudian bukan wewenang
praperadilan.
2. Menurut Sarpin, penetapan
tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan sehingga akan berujung pada
penuntutan dan penahanan. Sarpin berpendapat, proses penyidikan sudah merupakan
upaya paksa merampas kemerdekaan. Meskipun belum ada penahanan atau penggeledahan.
3. kata Sarpin, KPK menyesar BG
saat menjabat sebagai kepala Biro Pembinaan Karier pada 2003-2006. Menurut
Sarpin, jabatan ini hanya administrasi di bawah Deputi Sumber Daya Manusia
dengan pangkat Eselon 2. Dengan demikian, unsur penyelenggara negara tidak
terpenuhi.
4. KPK dalam persidangan menyebut
penetapan tersangka sudah melalui dua alat bukti kuat. Namun, dalam
persidangan, kata Sarpin, KPK hanya menyerahkan nomor register sprindik.
5. kasus yang disangkakan kepada
BG tidak berdampak banyak ke masyarakat. Sebab, status tersangka dikenakan saat
BG menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier. Baru meledak karena jadi
calon tunggal kapolri, katanya.
Dengan lima pertimbangan ini,
berarti status tersangka BG yang ditetapkan KPK dicabut. Artinya, dia dianggap
bersih secara hukum dan KPK telah keliru dan terburu-buru menetapkannya sebagai
tersangka.
Ketiga, Oce Madril
(Koran Tempo, 18 Februari 2015)Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi FH
UGM dalam tulisannya "Putusan Sesat Pra-Peradilan" justru mengganggap putusan Sarpin
banyak yang tidak rasional. Sebut saja pernyataan yang mengatakan bahwa Komjen
BG bukanlah seorang penegak hukum. Ini jelas keliru. Polisi jelas penegak
hukum. Dalam doktrin hukum, dikenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu
polisi, jaksa, dan hakim. Ketiga profesi itulah yang berfungsi sebagai aparatur
negara, yang diberi tugas khusus untuk menegakkan hukum.
Hal ini ditegaskan dalam berbagai
dokumen hukum negara. Doktrin ini dapat kita temukan dalam konstitusi UUD 1945.
Kedudukan polisi sebagai penegak hukum ditegaskan dalam Pasal 30 ayat 4 UUD
1945, bahwaKepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai alat negara yang
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi,
melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Polisi, menurut konstitusi,
bertugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masayarakat sekaligus sebagai
penegak hukum. Fungsi polisi sebagai penegak hukum juga ditegaskan dalam
Ketetapan MPR Nomor VI/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/2000, bahwa salah
satutugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum.
Di tingkat UU, fungsi pokok
kepolisian untuk menegakkan hukum kembali ditegaskan. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2
Tahun 2002 tentang kepolisian, dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah
satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Lagi-lagi, UU mengatur bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah
menegakkan hukum.
Menyingkapi Secara Bijak
Tiga pendapat ahli tersebut pada
dasarnya terjadi pro dan kontra atas putusan praperadilan Sarpin kepada Budi
Gunawan. Kini saatnya bukan lagi mempermasalahkan putusan Sarpin, akan tetapi
lebih kepada mengambil pelajaran dikemudian hari terkait dengan bagaimana
memujudkan prosedur hukum yang baik agar tercipta keputusan yang adil lagi bijak
pula.
Ternyata pro kontra tidak hanya
dialami oleh ahli hukum, tapi baik kalangan nitizen twitter maupun masyarakat
akar rumputpun berpandangan sama. Begitupula kalangan politisi, sebut saja
Fadli Zone, ia mengatakan bahwa putusan hakim Sarpin harus dihargai dan dihormati semua pihak. Pernyataan
tersebut ditanggapi positif oleh para nitizen sebesar 3%. Publik menilai
putusan hakim tentu sudah melalui banyak pertimbangan yang sah oleh hukum. Sehingga
hasil keputusan hakim tersebut dapat meredam ketegangan antara KPK dan Polri
akhir-akhir ini.
Sementara
bagi yang kontra dengan putusan Sarpin, beberapa kalangan mewacanakan
Hakim Sarpin akan dilaporkan ke Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Mereka
menggangkap banyak terjadi kejanggalan dalam sidang 16 Februari
2015 kemarin. Pendapat seperti ini ternyata tidak terlalu banyak mendapat tanggapan positif dari para
nitizen, sekitar 2%. Artinya, pelaporan
Sarpin ke KY dan MK kurang mendapat respon yang bagus dari publik, karena hanya akan memperpanjang
masalah.
Justru yang mendapat tanggapan
positif 6% dari para nitizen di twitter adalah Hakim Sarpin membuat sejarah
baru, status tersangka bisa dibatalkan. Sebuah kabar baik bagi para warga yang
terjerat kasus hukum yang merasa mendapat pelanggaran-pelanggaran HAM untuk
diperjuangkan di meja praperadilan. [Taufiq/Trendezia]
Tag :
Polhuk
0 Komentar untuk "Sejarah Baru Putusan Hakim Praperadilan"