Mengkritisi Putusan Praperadilan Budi Gunawan

Setelah melewati beberapa tahapan persidangan, hakim Pengadilan Tingi (PN) Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, pada Senin (16/2) akhirnya mengabulkan gugatan praperadilan Komjen (Pol) Budi Gunawan. Dengan keputusan ini, penetapan status tersangka oleh KPK terhadap Jenderal bintang tiga itu tidak sah secara hukum. Alasannya, surat perintah penyidikan (sprindik) yang ditujukan kepada Budi Gunawan tidak memiliki dasar dan kekuatan hukum. Pasal 11 UU KPK hanya memberi kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.

Sementara, Budi Gunawan – saat diduga melakukan korupsi – menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir (Karobinker) Deputi SDM Mabes Polri periode 2003-2006 dan jabatan itu bukan termasuk dalam penyelenggara negara ataupun penegak hukum. Karobinker merupakan jabatan administratif golongan eselon II dan bersifat struktural di bawah Kapolri. Adapun yang dimaksud pejabat penyelenggara negara, sesuai Pasal 1 angka 1 UU No 28 Tahun 1999\ adalah mereka yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, atau pejabat lain yang punya tugas fungsi penyelenggara negara sesuai peraturan UU yang berlaku.

Apa pun itu setiap putusan hukum harus bisa diterima dan dihormati oleh semua pihak. Semua orang tentu juga sepakat bahwa meskipun langit akan runtuh, hukum harus tetap ditegakkan. Namun di negara hukum, setiap putusan harus bisa diverifikasi, bahkan difalsifikasi, termasuk terhadap putusan hakim Sarpin. Sebab, hukum hakikatnya tidak dibuat, melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Hukum yang adil harus benar-benar mencerminkan wajah kesejatian rakyat sebagai cermin jiwa bangsa (volkgeist). Tak heran jika putusan hakim Sarpin yang memenangkan gugatan praperadilan Budi Gunawan itu menimbulkan pro-kontra.

Hukum di negeri ini mengatur bahwa putusan hakim yang bertentangan dengan KUHAP bisa diuji di pengadilan yang lebih tinggi, yakni Mahkamah Agung (MA). Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2014 memberikan ruang dilakukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan jika ditemukan adanya indikasi penyelundupan hukum. Selain itu, hakim secara personal juga bisa “dipersoalkan” ke Komisi Yudisial (KY) manakala putusan yang diambil dinilai menabrak undang-undang dan mengingkari etika dan moralitas publik. Dua persoalan itulah yang saat ini tengah ditempuh oleh para penggiat anti korupsi, seperti ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil terhadap putusan hakim Sarpin.


Semua orang tentu paham bahwa suatu putusan hukum bukan lahir dari ruang hampa. Putusan lahir dari pertimbangan hakim berdasarkan dalil-dalil serta bukti yang diajukan oleh pihak yang berperkara. Dalam putusan praperadilan Budi Gunawan, hakim Sarpin merujuk pada ketentuan bahwa pengadilan dilarang menolak mengadili perkara yang hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Klaim itu tidak salah, sebab hukum memang tidak hanya sekadar di atas kertas (on the paper), tetapi hidup dalam praktik (law in action). Dari perspektif ini, hakim dituntut untuk melakukan penemuan hukum (rrechtvinding), menggali keadilan dalam masyarakat.

Namun, yang perlu digaris bawahi bahwa tidak diaturnya penetapan tersangka dalam KUHP – sebagaimana argumen hakim Sarpin – tidaklah disebabkan oleh kekosongan hukum. Sebab, KUHP sendiri sudah jelas membatasi secara limitatif obyek preperadilan. Begitu pula lembaga preperadilan sendiri hanya menguji sebatas aspek prosedural dan sama sekali tidak mengadili substansi perkara. Sementara dalam putusannya, hakim Sarpin menjadikan penetapan tersangka Budi Gunawan sebagai obyek praperadilan. Padahal, dalam Pasal 77 KUHAP dijelaskan bahwa kewenangan praperadilan hanya terbatas untuk menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penuntutan serta ganti rugi dan rehabilitasi.

Pasal ini menutup peluang bagi hakim untuk melakukan penafsiran lain dalam menangani perkara. Dalam sejarah, doktrin tentang penafsiran atau penemuan hukum – di luar yang tertulis – tidak berlaku bagi hukum acara pidana atau hukum formal. Dengan demikian jelas, bahwa sebenarnya tidak ada kekosongan hukum dalam perkara praperadilan Budi Gunawan. Segala yang menjadi argumentasi atau dalil-dalil yang diajukan oleh tim pengacara Budi Gunawan pada dasarnya menjadi wilayah uji bagi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) – bukan lembaga praperadilan.

Itulah yang dinilai berbagai kalangan sebagai kesalahan fatal hakim Sarpin dalam menangani praperadilan Budi Gunawan. Sebab, ia telah masuk terlalu jauh (off side) dari kewenangan yang telah diberikan oleh undang-undang. Apa yang dilakukan hakim Sarpin ternyata tidak sekadar membuka pintu mempersoalkan status tersangka. Ia juga menyentuh substansi perkara yang mestinya menjadi wilayah Pengadilan Tipikor. Lebih dari itu, hakim Sarpin lewat putusan preperadilan-nya itu adalah unprofesional conduct yang bisa mengacak-acak tatanan hukum. Bahkan, jika kita cermati, putusan hakim Sarpin yang menilai KPK tidak memiliki kewenangan menyidik Budi Gunawan lantaran bukan pejabat penegak hukum atau penyelenggara negara sama artinya dengan membatasi kewenangan KPK.

Dengan ungkapan lain, hakim Sarpin tidak saja mengganti peran Pengadilan Tipikor, tapi juga kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) ketika menafsir Pasal 11 UU No 30/2002 tentang KPK soal ruang lingkup kewenangan KPK. Secara normatif , konsekuensi dari putusan tidak sahnya penetapan tersangka Budi Gunawan memang berimplikasi kepada proses penyidikan yang berjalan harus dihentikan. Dan pengghentian proses penyidikan tersebut haruslah melalui mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Namun, Pasal 30 UU KPK menyebut bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3.

Pertanyaannya, bukankah dengan pasal ini sudah dengan sendirnya menggugurkan putusan praperadilan Budi Gunawan? Barang kali kita hanya bisa mengatakan bahwa putusan praperadilan bukanlah dasar bahwa Budi Gunawan bersih dari kasus korupsi. Jika putusan hakim Sarpin ini tidak segara dikoreksi, maka dapat dipastikan semua tersangka korupsi akan berbondong-bondong mengajukan gugatan praperadilan yang bisa diputus dalam jangka waktu tujuh hari hanya dengan hakim tunggal. Nafas dan energi KPK pun akan terkuras habis untuk melayani gugatan praperadilan, bukan untuk memberantasn korupsi yang sudah semakin di luar batas nalar. [Joko/Trendezia]
Tag : Polhuk
0 Komentar untuk "Mengkritisi Putusan Praperadilan Budi Gunawan"

Back To Top