Madrid, Suporter dan Karakter Sepak Bola

Hasil maksimal yang diperoleh Real Madrid saat menjamu klub papan bawah, Deportivo La Coruna di Santiago Bernabeu, Sabtu (14/2) memperpanjang dominasinya di puncak klasemen sementara La Liga Spanyol. Hasil tersebut juga bisa disebut sebagai “penebus dosa” setelah El Real  kalah telak (4 : 0) dari klub rival sekotanya, Atletico Madrid. Kemenangan pasukan Carlo Anceloti ini sekaligus menjadi penghibur lara bagi para fans fanatik mereka: madridista. Bagi setiap klub sepak bola, apalagi sebesar dan sekelas Real Madrid, keberadaan fans atau suporter ibarat menjadi pisau bermata dua.


Di satu sisi, mereka adalah “pemain kedua belas” yang setia memberikan support di lapangan saat klub kesayangannya bertanding. Kehadiran fans bisa menjadi “dopping” bagi para pemain untuk tampil lebih baik dalam setiap pertandingan. Tak heran jika kemenangan bagi mereka adalah harga mati. Di sisi yang lain, fans atau suporter juga tak jarang menjadi “teror moral” bagi pemain lewat berbagai aksi dan kritik-kritiknya. Menang disanjung, kalah dihujat dan dicaci maki. Bahkan lebih dari itu, fanatisme suporter juga tak jarang mencoreng wajah sportivitas sepak bola.

Tragedi Heysel di Belgia 29 Mei 1985 menjadi catatan kelam sepanjang sejarah sepak bola di Eropa yang disebabkan oleh “kegilaan” suporter. Saat itu tengah digelar Final Liga Champion yang mempertemukan Liverpool (Inggris) dan Juventus (Italy). Aroma balas dendam sudah mulai terasa sejak antrean masuk. Bentrokan antar suporter pun pecah sesaat setelah peluit pertama dibunyikan. Sedikitnya, 39 orang tewas – 32 di antaranya suporter Juventus – dan 600 orang terluka. Pasca tragedi memilukan itu, UEFA (badan sepak bola Eropa) melarang seluruh klub Inggris ikut berkompetisi di Piala Champion.

Namun yang harus dicatat, holiganisme (sebutan untuk fans ideologis Liverpool yang brutal) bukanlah anak kandung dari sepak bola. Sepak bola tetaplah berkarakter permainan. Sebagai permainan sepak bola berada di wilayah tujuan: bernilai bagi dirinya sendiri. Sepak bola adalah simbol ideal hubungan manusia tanpa kelas yang di dalamnya menghendaki persaingan secara sehat, fair dan adil. Bahkan, menurut sebagian orang sepak bola menuntun keterlibatan manusia (pemain, pelatih dan suporter) secara intens layaknya mengikuti sebuah drama liturgi religus.

Kembali ke persoalan Real Madrid yang sampai pekan ke-23 ini masih memuncaki klasemen, bahwa itu bukan akhir dari perjuangan mereka. Suporter akan tetap menuntut agar Los Blancos berada pada performa terbaiknya; menjaga trend kemenangan. Jika tidak mereka akan terjun bebas. Sebab, di peringkat klasemen Real Madrid yang mengemas 57 poin, ditempel ketat oleh rival abadinya, Barcelona (56), Atletico Madrid (50), Valencia (47) dan Sevilla (45). Apalagi mengingat selisih gol, Barcelona lebih bagus dengan selisih 54 gol (67 memasukkan dan 13 kemasukan), sementara Madrid 50 gol (72 memasukkan dan 22 kemasukan.)

Tak dapat dipungkiri memang memasuki awal tahun 2015 ini penampilan Madrid cenderung menurun. Liburan paruh musim dengan modal 15 kemenangan beruntun, tampaknya membuat Los Merengues terlena. Selain itu juga disebabkan oleh penurunan performa pemain kunci, seperti Cristian Ronaldo dan Toni Kroos, serta ditambah dengan absennya sejumlah pilar kunci seperti, Luca Modric, James Rodriguez, Pepe dan Sergio Ramos yang dibekap cidera. Rotasi pemain memang menjadi pilihan strategi bagi Don Carletto (sebutan Carlo Anceloti), namun pemain pelapis sering kali gagal menyajikan performa apik sehingga belum bisa memberikan garansi kemenangan.

Kurang meyakinkan memang, sebuah performa yang lebih condong bermain efisien ketimbang menyuguhkan sepak bola indah dan cepat karakter khas Madrid. Perlu diketahui bahwa sejak dibesut Don Carletto, Madrid selalu menerapkan formasi 4-3-3 sebagai andalan. Di depan yang sering kali menjadi langganan adalah trio penyerang tajam, yakni Gareth Bale, Karim Benzema dan Cristiano Ronaldo. Sementara, untuk membantu pertahanan, pemain tengah seperti Isco dan Kroos dituntut untuk bisa cepat mengadaptasi permintaan ini. Sayangnya, jika kita lihat, hal itu bukanlah keahlian natural mereka, kedua pemain ini cukup lemah dalam bertahan.

Memang trio penyerang Madrid ini selalu menjadi ancaman ketika sudah berada di kotak pinalti, mereka mahir dalam urusan mencetak gol. Namun, ketika tim lawan mampu menahan dan membatasi para pemain tengah untuk mensuplai bole ke depan, maka praktis Madrid seperti kehilangan permainannya. Madrid bakal kesulitan mamaksmalkan tiga penyerang ganasnya itu. Tak heran jika sering kali kita dapai penampilan Madrid yang terlalu asyik menyerang tetapi pada akhirnya membuat pertahanan mereka kecolongan. Apalagi ketika menghadapi tim-tim besar yang memiliki kecepatan dan agresivitas yang tinggi.

Dalam sebuah permainan sepak bola, menjaga keseimbangan antara bertahan dan menyerang menjadi faktor kunci. Madrid di musim ini juga tengah mengadopsi possession football, meski tidak seindah penguasaan bola Barcelona dengan pola taka tiki-nya. Namun, apa yang terlihat dari permaianan Madrid saat ini cukup berbeda dengan tahun lalu yang lebih mengandalkan serangan balik super cepat. Perbedaan juga terlihat saat ini ketimbang saat diarsiteki oleh Jose Mourinho. Anceloti secara umum mampu membawa suasana psikologis pemain lebih santai. Tak ada ancaman persolan, seperti di rezim the special one itu.

Semua orang tentu sepakat bahwa Madrid adalah tim jawara dengan sejarah menjadi kampiun di berbagai even laga. Skuad yang dimilikinya luar biasa melimpah dengan sederet pemain bintang (los galacticos) hingga pemain lapisnya saja adalah pemain-pemain berbayar mahal. Karena itu pula, Madrid sering kali bisa dengan mudah keluar dari situasi sulit yang membekap, karena karakter sang juara, dan anti menyerah yang mereka tunjukkan dalam setiap permainan mereka. Seperti halnya tim-tim jawara lainnya, selalu ada mentalitas berjuang sampai akhir di tim sebesar Real Madrid. [Joko/Trendezia]
Tag : lifestyle
0 Komentar untuk "Madrid, Suporter dan Karakter Sepak Bola"

Back To Top