Juventus, Penanda Kebangkitan “Sepakbola Pizza”

Skandal calciopoli (pengaturan skor), ketidakberesan wasit di lapangan, klub-klub “seven sisters” (sette sorelle) yang dibekap krisis, hingga letupan-letupan rasisme telah meruntuhkan derajat sepakbola Italia. Liga Italia Serie A absen dari kehadiran para pemain nomer wahid dunia seperti di era 90-an. Kala itu, trio Belanda (Ruud Gullit, Van Basten, Frank Ridjkaard), peraih gelar Baloon d’or, macam Michel Platini, Lothar Matheus, Ronaldo hingga gelandang atraktif asal Perancis, Zinedine Zidane mencapai puncak kariernya di negeri Pizza. Penampilan apik mereka memukau seantero dunia. Tim-tim Seria A berjaya di kompetisi antar-klub Eropa.



AC Milan, Internazionale Milan, Juventus, Fiorentina, Napoli, Sampdoria adalah saksi sejarah tim-tim Italia yang menjadi jawara di benua Biru. Bahkan, aktivitas transfer pemain kerap memecahkan rekor dunia, seperti Christian Vieri, Hernan Crespo, Zinedine Zidane, atau Gigi Buffon. Kini, sudah satu dekade lebih Liga Italia kehilangan citra sejarahnya. Serie A lamban, membosankan, dihuni pemain-pemain tua, bahkan menjadi labuhan bagi “pemain buangan.” Serie A tak semenarik Premier League yang sarat dengan kecepatan bertempo tinggi, tak seelegan La Liga yang dihuni pemain berteknik tinggi ala C. Ronaldo dan Messi, tak setaktis Bundesliga Jerman yang telah menemukan makna revolusi sepakbola.

Representasi Harga Diri
Bagi penggemar sepakbola ala Italia, mungkin kecut rasanya membaca paragraf pembuka di atas. Sepakbola Italia tetaplah berkarakter permainan sepakbola Italia. Minimnya kecepatan dikompensasi dengan kekayaan taktik dan pembaruan strategi serta model pertahanan yang solid sebagai ciri khas tim-tim Italia yang tidak dimiliki oleh tim-tim di negara lain. Taktikal tim-tim Italia ini menurut Jhon Foot dalam Winning At All Cost (2007) tak bisa lepas dari perasaan bahwa kekuatan fisik mereka lemah. Ketiadaan fisik yang prima membuat mereka merasa kesulitan untuk menang jika beradu stamina dan kekuatan tubuh dalam sepakbola.

Salah satu indikator permainan sepakbola yang menarik adalah banyaknya gol yang tercipta, sekaligus menyiratkan tendensi sepakbola menyerang. Dalam konteks ini, Chris Anderson dan David Sally dalam The Numbers Game (2013) memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya jumlah rata-rata gol dari empat liga top Eropa (Premier League, Serie A, La Liga, Bundesliga) sebenarnya tidak jauh berbeda. Angkanya bervariasi setiap musim dan rata-rata setiap liga tersebut menghasilkan 2,5 – 2,9 gol tiap pertandingan setiap musim. Artinya, perbedaan jumlah gol hanyalah sekedar anomali per musim, bukan gambaran umum yang konstan.


Dengan demikian, persoalan krisis dan skandal calciopoli di Italia sebenarnya tidak banyak mengubah gaya dan karakter permainan sepakbola Italia. Hijarahnya pemain-pemain bintang ke klub lain di luar Italia, seperti Zlatan Ibrahimovic, Thiago Silva, Mario Balloteli, Edinson Cavani, Javier Pastore dan beberapa pemain lainnya disebebkan oleh sesuatu di luar permainan sepakbola Italia. Sepakbola Italia masih bertahan dengan akar tradisi dan hal-hal fundamental yang dimikilinya. Mengapa? Menurut Jhon Foot (2007) sepakbola sudah masuk ke dalam sanubari bangsa Italia sejak tahun 1920.

Bahkan, bangsa Italia telah lama mengenal tradisi “sepakbola” yang disebut Harpastum dari bangsa Romawi pada 700-800 M. Baru sekitar abad ke-19 M bangsa Inggris datang dan mengenalkan sepakbola modern ke negeri pizza itu. Wajar jika sepakbola bagi Italia adalah representasi harga diri. Bentangan pengalaman sejarah yang panjang menjadi modal bagi klub-klub di Italia untuk bisa cepat bangkit dari keterpurukan yang selama ini banyak dituduhkan. Memang dari pantauan tim riset Band-IT tanggal 23-25 Februari perbincangan netizen masih didominasi oleh persaingan Liga Champions UEFA, Bundesliga Jerman dan Liga Seria A di urutan kedua paling buncit.

Juventus: “Role Mode” Sepakbola Italia
Namun, munculnya Liga Serie A di grafik Issue Comparison Band-IT menjadi sinyal positif yang menandai perkembangan sepakbola Italia. Juventus adalah salah satu dari sekian banyak klub di Italia yang bisa menjadi penanda kebangkitan sepakbola di negeri pizza itu. Klub yang bermarkas di kota Turin, Italia Utara ini mampu bergelut dengan “sejarah kelam” dan keluar sebagai “role model” yang harus dicontoh oleh klub-klub lainnya. I Bianconeri bisa dikatakan sebagai tim yang mampu menjaga konsistensi dalam perburuan scudetto di musim ini. Sampai giornata ke-25 Juventus masih bertengger di puncak klasemen dengan poin 53, terpaut 9 poin dari AS Roma (59) di urutan kedua (antaranews.com, 3/03)

Juventus juga menjadi tim tak terkalahkan dalam 15 laga terakhir di Serie A (memang 10 kali, seri 5 kali). Tujuh laga di antaranya berhasil diraih tanpa kebobolan (clean sheet). Tern positif Si Nyonya Tua itu juga terjaga di babak 16 besar Liga Champions UEFA setelah menekuk klub Bundesliga, Dortmund dengan skor 2-1 pada Rabu (25/02) dini hari di Juventus Stadium, Turin Italia. Konsistensi permainan Juventus menjadi kans besar untuk menuju ke babak final liga Champions UEFA, meski tantangan mereka tidaklah mudah. Di Serie A dominasi Juventus juga membuka peluang untuk meraih sccudeto keempat mereka secara beruntun.

Apa yang ditorehkan Juventus saat ini salah satunya berkat loyalitas para pemain kunci mereka, seperti Arturo Vidal, Paul Pogba dan Claudio Marchisio yang batal hengkang meski banyak diincar oleh sejumlah klub besar Eropa. Secara finansial dan manajemen club, Juventus juga terlihat lebih “sehat” dibanding klub-klub lain. Mereka telah menemukan karakter permainan terbaiknya. Mereka telah memiliki stadion baru yang modern. Mungkin Juventus adalah satu-satunya klub di Italia yang memiliki “tanah” sendiri dan dapat menyimpan semua keuntungan tiga kali lipat dari setiap pertandingan mereka. ( Joko / trendezia)
Tag : lifestyle
0 Komentar untuk "Juventus, Penanda Kebangkitan “Sepakbola Pizza”"

Back To Top