Drama perseteruan
antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
mengalami babak baru yang semakin seru. Drama perseteruan yang populer dengan
istilah “cicak versus buaya” ini akan menjadi sebuah kisah yang panjang entah sampai berapa episode drama ini
akan bersambung. Yang pasti perseteruan
ini melibatkan tiga aktor utama, KPK, Polri dan pihak istana. Ya, Perseteruan ini sebenarnya perang tiga penjuru
sekaligus.
Tesis yang bisa
menjadi rujukan bahwa perseteruan KPK dan Polri melibatkan pihak istana
terlihat dari kronologis asal-muasal konfilik tersebut selalu didahului dengan
konflik dengan pihak istana terlebih dahulu. Publik masih ingat ketika Antasari
(ketua KPK ) membuka perseteruan terbuka dengan istana setelah menetapkan besan
SBY Aulia Pohan sebagai tersangka kasus Bank Indonesia. Selang beberapa pekan, Antasari
langsung ditetapkan tersangka atas dugaan pembunuhan seorang bos BUMN dengan latar
belakang perselingkuhan dengan perempuan yang bernama Rani Juliani.
Meski dalam kasus
ini banyak kejanggalan, seperti ada upaya sistematis untuk menghilangkan alat
bukti, seperi baju Nasrudin Zulkarnaen saat peristiwa penembakan hilang entah
dimana baju tersebut berada, peluru dan senapan yang digunaka alat bukti tidak
ada kecocokan. Namun karena adanya kekuatan besar yang mejadi dalang dibalik
kasus ini, Antasari tidak berkutik, dan
hingga kini masuk bui. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sebutan cicak versus
buaya episode pertama.
Sama halnya dengan
kasus yang menimpa Bibit Hamad Rianto dan Chandra M Hamzah Wakil Ketua KPK yang
ditetapkan sebagai tersangka setelah SBY bertemu dengan pihak Polri dalam acara
buka puasa September 2009. Dua wakil KPK tersebut dituduh menyalah gunakan
wewenang dalam menangani kasus Anggoro Widjojo terpidana kasus alat komunikasi
di Kementerian Kehutanan. Kasus ini juga tidak kalah dramatisnya dengan yang
menimpa Antasari, bedanya Bibit dan Candra masih beruntung karena mampu membuka
skandal perselingkuhan antara petinggi Polri dengan Kejaksaan yang menjadi makelar kasus. Dua wakil KPK inipun
bisa bebas. Peristiwa ini yang kemudian disebut dengan drama cicak versus buaya
episode dua.
Riset BAND-IT menunjukkan
sebuah gejala bahwa isu KPK dengan Polri menempati posisi tertatas di bandingkan isu-isu lainnya. Gejala ini
menunjukkan bahwa netizen memiliki
harapan besar agar kedua lembaga ini bisa mengakhiri perseteruannnya karena
melihat keduanya merupakan sama-sama lembaga hukum yang menjadi benteng
penegakan hukum di Indonesia.
Ujian Berat Bagi Jokowi
Semenjak isu KPK vs
Polri bergulir dan menjadi banyak
sorotan media cetak, online dan mensos. Sudah pasti Presiden Jokowi terkena
imbasnya dengan diserang sana-sini dari lawan politiknya. Kisruh KPK dengan Polri
ini akan menjadi moment yang pas bagi lawan politik Jokowi untuk menjatuhkan
elektabilitas Jokowi di hadapan pendukungnya. Serangan politik tersebut sangat
jelas dan nyata bukan hanya didunia nyata, namun juga dalam sosial media yang
begitu gencar menyerang Jokowi dengan berbagai isu-isu lama. Semisal Jokowi tidak tegas, pemerintah tidak
pro pemberatan korupsi, Jokowi petugas partai dan isu lainnya
hasil riset BAND-IT
menunjukan elektabilitas Jokowi mulai tergerus dan banyak mendapatkan sentimen
negatif dari para netizen dengan adanya kasus perseteruan antara
KPK dan polri ini. Jokowi memang mengalami
masa delematis antara melantik dan membatalkan pelantikan Budi Gunawan.
Sementara tekanan politik terus membayangi Jokowi, terutama dari partai
pendukungnya karena Budi Gunawan merupakan
orang yang pernah dekat dengan Megawati.
Satu sisi, Jokowi juga di hadapkan dengan sebuah realitas bahwa masyarakat dan relawan mengharapkan agar Jokowi membatalkan
pelantikan Budi Gunawan.
Belajar dari Kasus Sebelumnya
Melihat drama
perseteruan dua lembaga ini adalah sebuah hal yang ironi karena keduanya
merupakan dua lembaga penegak hukum yang sepatutnya memberikan contoh yang baik
kepada publik bukan malah justru mempertontokan sebuah prilaku yang tidak
mencerminkan penegak hukum. Entah sampai kapan dua lembaga ini bisa akur dan guyub rukun dalam sebuah keluarga yang
bernama bangsa Indonesia. Rasanya memang agak sulit untuk mendamaikan dua
lembaga ini dan harus dikembalikan kepada keduanya agar bisa intropresksi diri.
Mengapa dua lembaga
ini sering berseteru? Itulah pertanyaan yang mungkin menjadi uneg-uneg dalam pikiran kita semua. Tidak bisa
dipungkiri bahwa akar perseteruan antara KPK dan Polri disebabkan karena adanya
ruang lingkup kekuasaan (scope of power)
dan jangkauan kekuasan (domain of power) yang dimiliki dua lembaga ini masih kabur
terkait siapa yang berhak untuk melakukan pemeriksaan, penyidikan, penggeledahan
dalam kasus-kasus korupsi.
Dua hal ini memang
harus mulai dipikirkan oleh DPR sebagai badan legislasi untuk menjernihkan
ruang lingkup kekuasaan polri dan KPK, begitu pula domain kekuasaan dua lembaga
ini. (Meriam Budiardjo, 2011). Jika dua
variabel kekuasaan ini masih belum dibenahi dengan tatanan hukum yang mengatur
dua lembaga ini, maka dapat dipastikan konflik KPK dan Polri akan selamanya
koma, dan tidak pernah titik. [Danu/Trendezia]
Tag :
Polhuk
0 Komentar untuk "Drama Cicak versus Buaya Masih Koma Belum Titik"