Memecah “Senyap” Dengan Kesaksian Para Penyintas


Judul Film                   : Senyap, The Look of  Silence (versi bahasa Inggris)
Sutradara                   : Joshua Oppenheimer
Tahun Produksi        : 2014
Bahasa                        : Indonesia, Jawa
Produser Utama        : Final Cut for Real, Denmark

Membaca tragedi 1965-1966 selalu meninggalkan sisi gelap yang mengundang tanda tanya. Fakta dan kebenaran tentang kejahatan kemanusiaan 1965 seolah terkubur oleh sejarah. Sejarah yang dibuat oleh penguasa, yang ditutup-tutupi, yang dipelintir agar beban “dosa sejarah” tak punya ruang untuk diungkap dan diadili. Kesaksian para lakon tentang peristiwa itu terdengar sumir yang sama sekali tidak bisa menjelaskan apapun selain kesenyapan.


Film The Look of Silence atau “Senyap” angkat bicara. Film garapan Joshua Oppenheimer ini memberikan gambaran dokumenter tentang kesaksian para penyintas dan beratnya beban kemanusiaan mereka dalam membaca peristiwa pembantaian 1965. Jika film sebelumnya, The Act of Killing atau “Jagal” bicara tentang bagaimana seorang “jagal” bisa bangga membunuh manusia, maka “senyap” ini berkisah tentang apakah para algojo itu bersua dengan para penyintas (korban) yang dicap “komunis” sebagai sesama manusia.

Dikisahkan, Adi dalam film tersebut adalah tukang kacamata keliling. Ia adalah adik dari Ramli, salah satu korban pembantaian 1965-1966 di salah satu desa perkebunan terpencil di Sumatera Utara. Lahir pasca pembantaian 1965-1966, Adi tumbuh dalam keluarga yang secara resmi dinyatakan “bersih” karena kakaknya, Ramli, dianggap simpatisan PKI. Bersama Adi, Oppenheimer mengumpulkan para korban dan penyintas pembantaian 1965-1966. Kemudian mendokumentasikan kesaksian mereka tentang sejarah pahit itu.

Oppenheimer menunjukkan rekaman wawancara kesaksian dari para penyintas itu kepada Adi. Dalam Senyap, tampak Adi menonton kesaksian para pembunuh. Adi tercengang, diam, tetapi terus menonton rekaman wawancara yang diabadikan pada April 2003 yang memperlihatkan orang yang tertawa-tawa bangga mengisahkan kepahlawanan mereka membunuh. Adi terlihat mencoba memahami kejumawaan “para pahlawan” pembantaian 1965-1966.

Dalam video itu tampak tak ada penyesalan dalam memperagakan pembunuhan atau mungkin mereka sudah mati rasa. Oppenheimer juga bertemu dengan dua orang yang mengaku sebagai pembunuh Ramli. Mereka adalah Amir Hasan dan Inong. Keduanya tampak memperagakan pembunuhan Ramli di pinggiran Sungai Ular. Film dokumenter itu menjadi “setegang” film fiksi, ketika Adi menemui Inong, menawarkan kacamata untuk mata Inong yang rabun.

Sambil mencari ukuran lensa kacamata yang cocok untuk mata Inong, Adi bertanya masa lalu Inong. Adi terus mengejar, memantik marah Inong. Ia begitu marah dan meminta Oppenheimer berhenti merekam pertemuan itu. Wajahnya menegang dengan tatapan hampa. Bukan hanya marah yang muncul dari adegan itu. Penyangkalan Inong atas sesal adalah jalan (mungkin satu-satunya jalan Inong) untuk melanjutkan hidup.

Kemarahan juga muncul ketika Adi menemui keluarga almarhum Amir Hasan. Dua anak Amir Hasan marah mendengar Adi menuturkan isi buku “Embun Berdarah” karangan ayah mereka yang merinci pembunuhan 32 korban pembantaian, termasuk Ramli. Kisah pahlawan yang ditulis sang ayah tiba-tiba menjelma menjadi tuduhan ketika dituturkan Adi, adik Ramli. Untuk apa mengungkit sesuatu yang telah berlalu? tanya mereka. Mengungkit masa lalu (tragedi 1956-1966) sama artinya menabur cuka di luka lama.  

Kendati demikian, kita harus mengakui bahwa film “Senyap” secara tak terduga menuturkan bahwa mereka yang membunuh pun terluka, melukai kemanusiaan mereka. Luka itu mereka lupakan dengan penyangkalan dan epos kepahlawanan yang rapuh. Senyap juga menuturkan bahwa Adi – dan ratusan ribu hingga jutaan keluarga penyintas lainnya – masih terluka. Luka Adi kian parah ketika mendengar anaknya sepulang sekolah, mengisahkan cerita guru mereka tentang kekejaman PKI.

Adi kemudian berusaha menjernihkan (meluruskan) sejarah keluarga dan sejarah Indonesia kepada sang anak. Adi marah, belajar tidak mendendam, tetapi negara terus mengoyak lukanya. Bagi Oppenheimer film “Senyap” diibaratkan sebagai puisi tentang kesenyapan. Puisi tentang kesenyapan yang lahir dari teror. Puisi tentang pentingnya memecah kesenyapan, tetapi juga tentang trauma yang datang ketika kesenyapan itu dipecahkan.


Kita harus merendahkan hati sebagai kunci untuk mendengar kesenyapan. Kita harus menoleh ke belakang memecah “Senyap” dengan kesaksian para penyintas.

Related Post:

0 Komentar untuk "Memecah “Senyap” Dengan Kesaksian Para Penyintas"

Back To Top