Batu adalah penanda sejarah peradaban.
Kita mendapati cerita tentang asal muasal manusia dari zaman batu. Batu menjadi
tanda zaman, membentuk dan mempengruhi gerak sejarah. Sebelum manusia mengenal
tulisan/aksara, batu menjadi senjata; alat perlawanan menghadapi perubahan alam.
Batu tercatat sebagai penanda pergantian fase sejarah. Kita mengenal ada zaman paleolitikum
(zaman batu tua), diikuti zaman neolitikum (zaman batu muda). Di zaman
itu batu demikian bernilai. Hampir semua kebutuhan manusia ditopang dan
bergerak karena batu. Batu menjadi pusat perputaran kehidupan manusia untuk
masa yang cukup lama. Zaman batu mencirikan kehidupan dan kebudayaan sederhana.
Di zaman ini, batu (akik) dipuja dan
diburu. Masyarakat berteknologi tinggi, bernalar rasional kini tengah gandrung
pada batu bertuah, ironis! Tidak mengenal genre, status sosial: pejabat,
selebritis hingga masyarakat kelas bawah berbincang tentang perkara batu. Di panggung
sosial media eksistensi batu menjadi trendsetter. Kabar media tidak
melulu berisi tentang politik gaduh bermodus kuasa. Entah siapa yang pertama
kali memulainya. Tetapi bagi “masyarakat batu” seolah menemukan makna
kehidupan baru. Sebuah batu menghamparkan “jebakan” kuasa dan citra. Bermula
dari batu, mereka seolah bergerak ke ambisi peningkatan taraf hidup dan status
sosial.
Batu pun masuk dalam arena kontestasi
permainan makna dan tafsir. Memburu dan megoleksi batu mengartikan beragam
harapan keuntungan: estetis, ekonomis, magis, dan spiritual. Kita patut
khawatir jika ketakjuban terhadap batu akik menyelinap ke relung kejiwaan
masyarakat. Pengalaman ihwal fenomena kembang “bunga cinta” atau “jemani”
memberi pelajaran bahwa tanpa sadar kita telah teggelam ke dalam syndrom
euforia, yang semu dan artifisial. Mencintai batu, menjadikan batu sebagai
kebutuhan hidup atau medium berkomunikasi dengan yang gaib meruntuhkan
sendi-sendi budaya kita yang rasional, beradab, beragama, dan pekerja keras.
Pesona batu akik memicu masyarakat
menjadi bermental malas, cinta pada sesuatu yang instan, enggan bekerja
karena terpenjara oleh halusinasi “keuntungan” dari batu. Fenomena ini oleh
pakar ilmu psikologi finansial disebut sebagai irrational exuberance.
Sebuah gejala di saat ribuan bahkan jutaan orang berbondong-bondong membeli
sesuatu karena dorongan emosi kolektif yang acap kali tidak
rasional. Euforia masal membuat seseorang lepas kendali dan membentuk
gelombang kegilaan. Saat euforia ini bercampur dengan kegilaan meledak,
maka harga bisa melambung tinggi. Masyarakat akhirnya latah, mudah meniru perilaku
kerumunan.
Budayawan Mochtar Lubis dalam bukunya Manusia
Indonesia (2008) memberikan gambaran tentang perilaku manusia Indonesia.
Menurutnya, bangsa Indonesia masih mengidap beberapa penyakit, seperti hipokrit
(munafik), tidak bertanggung jawab, berjiwa feodal, mistis dan percaya tahayul,
seni yang cenderung erotis dan mentalitas yang lemah. Lemahnya mental bangsa
Indonesia merupakan akar dari krisis. Hal senada juga diungkap oleh Koentjaraningrat
dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1996)
bahwa orang Indonesia mengidap penyakit kronis berupa mentalitas penerabas.
Mentalitas penerabas inilah yang tampaknya
membawa masyarakat kita mudah terpesona dan terkagum karena rendahnya wawasan,
menginginkan cara-cara instan untuk menghasilkan sesuatu dan hilangnya rasa
kepekaan terhadap mutu. Maka, tak heran jika batu akik dengan baragam motif
warna dan jenis begitu mudah merangsang orang untuk takjub. Angan bernasib baik
seakan bergantung pada batu. Batu adalah “teor” dan “imperatif”.
Ketidakberdayaan membeli emas dan permata menjadikan batu sebagai pilihan
rasional bagi masyarakat bawah untuk terus menaruh harap terhadap berbagai
kemungkinan.
Sejarah agama-agama mencatat bahwa
batu mempengaruhi cara manusia berhubungan dengan Sang Pencipta. Di zaman Nabi
Ibrahim batu digunakan sebagai alat untuk berhubungan dengan Tuhan.
Berhala-berhala batu menjadi media untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Batu
berjasa membawa pemahaman manusia ke arah teologi yang tunggal. Jika batu
dianggap menyesatkan manusia, maka di waktu yang sama batu juga menjadikan
manusia sadar akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Apakah batu zaman ini
mendapatkan kembali tempatnya sebagaimana zaman Ibrahim, menjadi perantara
untuk percaya kepada Tuhan?.
Geger batu akik mengisyaratkan kejadian tentang kelatahan
kultural dan ceminan dari sebuah zaman “kegelapan”. Nalar yang tidak rasional
akan dengan sendirinya tumbang di tengah jalan, sebagaimana kuasa batu akan
lapuk di makan waktu. ( Joko Trendezia)
Tag :
lifestyle
0 Komentar untuk "Kuasa Batu"