Orang
beribadah itu membutuhakan ketenangan dan konsentrasi agar munajat yang
dilakukan benar-benar bisa kusyuk. Premis ini akan diterima oleh siapapun dan
pemeluk agama manapun. Akan tetapi premis itu terusik oleh kenyataan, bahwa
hampir setiap ritual keagamaan dibanjiri oleh para penonton. Entah itu
mengabadikan lewat kamera ataupu ponsel HP, maupun penasaran ingin menyaksikan
secara langsung.
Contoh
nyata adalah perayaan Nyepi yang jatuh pada sabtu (21/03) kemarin. Dari nama
perayaannya saja “Nyepi” merupakan kondisi dimana seseorang butuh ketenangan
dan keheningan yang jauh dari riuh dan bising dunia. Eh, ternyata di Prambanan
maupun di Bali, perayaan Nyepi malah dipenuhi oleh para wisatawan yang ingin
menyaksikan ibadah tersebut.
Bukannya
kondisi tersebut justru akan mengganggu para jemaat dalam beribadah, entah itu
suara “Krik” kamera, atau suara mulut yang menggunjing. Pasti riuh. Sesak, persis
seperti menyaksikan perayaan karnaval atau seperti Grebeg maulud di daerah
Yogyakarta.
Oleh
karena itu, perlu kesadaran total tentang arti ibadah dengan tontonan baik oleh
kalangan masyarakat maupun oleh panitia acara sendiri. Dan memungkinkan jika
keresahaan semacam ini didialogkan antara panitia dengan para Jemaah. Apakah
sebenarnya jamaah merasa terganggu dengan aktivitas euphoria masyarakat
menyaksikan mereka?
Ritual Agama
Sebagai Komoditas
Apapun
jika di komoditaskan (terjadi praktik transaksi) itu menjadi tidak murni.
Termasuk dengan persoalan agama. Padahal agama itu sesuatu yang privat
(pribadi) dan mengandung unsur sakral dan murni. Tapi hari ini apapun sudah
menjadi nilai transaksi yang menghasilkan pundi-pundi rupiah. Lihat saja,
berapa hasil jumlah parkir saat perayaan waisak di Borobudur, Nyepi di
Prambanan dan Haji di Mekkah.
Hari
ini, orang datang ke tempat ibadah tidak lagi sekedar menuaikan ibadah, tapi
telah mengandung pemenuhan diri atas kepuasaan objek wisata. Piknik. Ya, ritus
keagamaan hari ini berubah fungsi menjadi tempat wisata. Wisata religi. Lihat
saja penuhnya makam para wali songo itu bukan sekadar didatangi oleh para
ziarawan maupun ziarawati. Tapi memang dibentuk sedemikian rupa agar menarik
para orang untuk berkunjung kesana. Sehingga disepanjang jalan menuju makam,
berjubellah kios-kios penjualan yang menghasilkan recehan.
Objek Wisata
Religi
Apa
sebenarnya yang melatarbelakangi munculnya objek wisata religi? Apakah karena
semakin hari para peminatnya semakin banyak sehingga hal ini menjadi peluang
baru untuk meraup rupiah? Ada benarnya. Sebab, hari ini ditengah panasnya dan
ketatnya persaingan usaha dan semakin sulitnya meniti hidup, seorang manusia
membutuhkan ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa itu salah satunya dapat diperoleh
lewat siraman rohani atau mengunjungi tempat-tempat suci.
Kondisi
itulah yang dibidik oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan yang sifatnya
materi. Mucullah jasa tour wisata religi dengan paket lengkap. Muncullah
panitia ziarah walisongo di desa-desa bahkan muncul jasa paket umroh ke tanah
suci. Dibalik kemudahan dan penawaran tersebut sebenarnya terdapat bisnis yang
luar biasa.
Oleh
karena itu, sudah saatnya kita bersikap bijak memahami antara mana yang
benar-benar ibadah atau sekedar wisata. Jangan sampai kita tertipu akan bisnis
wisata yang dibungkus dengan ibadah. Jadilah masyarakat yang cerdas, sehingga
tidak mudah tertipu terhadap oleh bujuk rayu wisata religi secara membabi buta.
Sehingga kita bisa memahami dan mengerti dimana kadang seorang jamaah
membutuhkan waktu yang tenang dan hening.
Tag :
Pariwisata
0 Komentar untuk "Ritual Keagamaanpun Menjadi Objek Wisata"