Ketika kesadaran tentang pentingnya meningkatkan jumlah
pelaku ekonomi kreatif muncul, seperti yang terjadi dalam lima tahun terakhir
ini, kebutuhan untuk menabur benih-benih pelaku ekonomi kreatif kian esensial.
Di zaman ini, ketika teknologi informasi berlangsung dalam skala deret ukur,
peluang bagi kerja kreatif agaknya tak terbatas. Itu sebabnya pemerintah perlu
memberi perhatian ekstra pada bidang profesi yang bisa dimasuki oleh siapa saja
ini, tanpa terfragmentasi dalam kualifikasi akademis sekalipun.
Peluang yang terbuka di dunia kerja kreatif telah memperlihatkan beragam fenomena menarik. Mari tengok satu contoh di dunia musik dangdut. Pesohor yang tak berpijak pada landasan ilmu bangku sekolah antara lain Inul Daratista, yang kini tanpa bekal ilmu musik telah sanggup menjadi seorang komentator pada sebuah acara kompetisi olah vokal di jalur dangdut di sebuah stasiun televisi swasta.
Tak terbayangkan oleh futurolog manapun dua dasawarsa silam bahwa seorang pedangdut yang berasal dari desa di Jawa Timur, yang memulai popularitasnya dengan kerja otot, terutama di wilayah pinggul dan kaki, tanpa pendidikan khusus bidang musik, bisa menjadi komentator yang sebelumnya diperankan oleh mereka yang sedikit banyak melek keilmuan bermusik.
Ya itulah dunia kreatif yang kini sedang mekar-mekarnya. Inul menjadi ikon pelaku ekonomi kreatif. Bukan sekolahan yang melahirkan insan sekelas Inul. Kerja kerasnya tentu saja yang memberi imbalan sepadan pada wanita yang diberkati keberuntungan materi ini.
Meski tak memeras otaknya dalam pengertian berpikir ilmiah, Inul dengan jerih payahnya yang antara lain berlatih mengangkat barbel untuk menunjang vitalitas aksi panggungnya, akhirnya sukses menjadi pelaku ekonomi kreatif yang layak dicatat dalam sejarah. Kerja kreatifnya dipercaya oleh pemodal untuk membuka waralaba bisnis karaoke yang paling popular di negeri ini.
Apa yang bisa dipetik dari satu pelajaran dalam hidup Inul adalah bahwa orangtua harus membuka kemerdekaan seluas-luasnya bagi anak-anak mereka untuk memilih apapun bidang kerja kreatif yang mereka minati.
Sampai saat ini masih ada orangtua yang masih berpikiran kolot dalam mengarahkan anak-anak mereka dalam memasuki profesi untuk bekal hidup mereka. Ada satu cerita faktual tentang seorang remaja yang memiliki suara emas dan dia begitu nyaman untuk mengeksploitasi suara mereka dalam mendedangkan lagu-lagu, pop maupun dangdut.
Namun, pada saat yang sama remaja itu dapat peluang diterima bekerja di sebuah bank, sebuah profesi yang dibanggakan oleh orangtua. Remaja itu bertekad keluar dari pekerjaannya di bank dan memilih berkiprah di dunia tarik suara, yang kebetulan adalah dangdut. Lewat ajang kompetisi tarik suara dangdut, remaja itu lolos terseleksi untuk bertarung, mempertaruhkan nasibnya dengan bersaing dalam kontes dangdut.
Dia tak memberitahu orangtuanya saat keluar dari pekerjaannya di sebuah bank tersebut dan memilih beradu nasib di pentas kompetisi tarik suara dangdut. Remaja seperti inilah yang akan mewarnai pelaku ekonomi kreatif di masa depan. Dia punya nyali keluar dari zona nyaman.
Indonesia perlu anak-anak muda yang punya nyali untuk berjuang mengadu nasib di wilayah yang tak menjanjikan kepastian. Tapi kepastian bukanlah karakter kerja kreatif. Kepastian mendapat gaji setiap bulan seperti menjadi pekerja lembaga negara atau pabrik bukanlah wahana subur bagi aksi kreatif.
Dalam konteks ini pula, negara perlu mengapresiasi para pelaku ekonomi kreatif dari bidang-bidang lain seperti disainer grafis, pesohor dunia hiburan, seniman yang penghasilannya dikeruk dari industri yang berbasis di luar negeri.
Di dunia desain grafis, misalnya, ada ribuan para pekerja kreatif yang penghasilannya datang dari lembaga-lembaga bisnis mancanegara. Mereka bekerja atas kreativitas mereka dalam merancag disain yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan asing yang tersebar di luar negeri. Jika selama ini para pekerja Indonesia di luar negeri mendapat julukan pahlawan devisa, para desainer grafis pun setara dalam menyumbang ekonomi negeri.
Mereka memperoleh penghasilan dalam bentuk dolar dan mereka membelanjakannya di dalam negeri sehingga mereka pun menyumbang bertumbuhan ekonomi negeri dan para pejabat negeri ini pun tak perlu repot-repot menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
Peluang yang terbuka di dunia kerja kreatif telah memperlihatkan beragam fenomena menarik. Mari tengok satu contoh di dunia musik dangdut. Pesohor yang tak berpijak pada landasan ilmu bangku sekolah antara lain Inul Daratista, yang kini tanpa bekal ilmu musik telah sanggup menjadi seorang komentator pada sebuah acara kompetisi olah vokal di jalur dangdut di sebuah stasiun televisi swasta.
Tak terbayangkan oleh futurolog manapun dua dasawarsa silam bahwa seorang pedangdut yang berasal dari desa di Jawa Timur, yang memulai popularitasnya dengan kerja otot, terutama di wilayah pinggul dan kaki, tanpa pendidikan khusus bidang musik, bisa menjadi komentator yang sebelumnya diperankan oleh mereka yang sedikit banyak melek keilmuan bermusik.
Ya itulah dunia kreatif yang kini sedang mekar-mekarnya. Inul menjadi ikon pelaku ekonomi kreatif. Bukan sekolahan yang melahirkan insan sekelas Inul. Kerja kerasnya tentu saja yang memberi imbalan sepadan pada wanita yang diberkati keberuntungan materi ini.
Meski tak memeras otaknya dalam pengertian berpikir ilmiah, Inul dengan jerih payahnya yang antara lain berlatih mengangkat barbel untuk menunjang vitalitas aksi panggungnya, akhirnya sukses menjadi pelaku ekonomi kreatif yang layak dicatat dalam sejarah. Kerja kreatifnya dipercaya oleh pemodal untuk membuka waralaba bisnis karaoke yang paling popular di negeri ini.
Apa yang bisa dipetik dari satu pelajaran dalam hidup Inul adalah bahwa orangtua harus membuka kemerdekaan seluas-luasnya bagi anak-anak mereka untuk memilih apapun bidang kerja kreatif yang mereka minati.
Sampai saat ini masih ada orangtua yang masih berpikiran kolot dalam mengarahkan anak-anak mereka dalam memasuki profesi untuk bekal hidup mereka. Ada satu cerita faktual tentang seorang remaja yang memiliki suara emas dan dia begitu nyaman untuk mengeksploitasi suara mereka dalam mendedangkan lagu-lagu, pop maupun dangdut.
Namun, pada saat yang sama remaja itu dapat peluang diterima bekerja di sebuah bank, sebuah profesi yang dibanggakan oleh orangtua. Remaja itu bertekad keluar dari pekerjaannya di bank dan memilih berkiprah di dunia tarik suara, yang kebetulan adalah dangdut. Lewat ajang kompetisi tarik suara dangdut, remaja itu lolos terseleksi untuk bertarung, mempertaruhkan nasibnya dengan bersaing dalam kontes dangdut.
Dia tak memberitahu orangtuanya saat keluar dari pekerjaannya di sebuah bank tersebut dan memilih beradu nasib di pentas kompetisi tarik suara dangdut. Remaja seperti inilah yang akan mewarnai pelaku ekonomi kreatif di masa depan. Dia punya nyali keluar dari zona nyaman.
Indonesia perlu anak-anak muda yang punya nyali untuk berjuang mengadu nasib di wilayah yang tak menjanjikan kepastian. Tapi kepastian bukanlah karakter kerja kreatif. Kepastian mendapat gaji setiap bulan seperti menjadi pekerja lembaga negara atau pabrik bukanlah wahana subur bagi aksi kreatif.
Dalam konteks ini pula, negara perlu mengapresiasi para pelaku ekonomi kreatif dari bidang-bidang lain seperti disainer grafis, pesohor dunia hiburan, seniman yang penghasilannya dikeruk dari industri yang berbasis di luar negeri.
Di dunia desain grafis, misalnya, ada ribuan para pekerja kreatif yang penghasilannya datang dari lembaga-lembaga bisnis mancanegara. Mereka bekerja atas kreativitas mereka dalam merancag disain yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan asing yang tersebar di luar negeri. Jika selama ini para pekerja Indonesia di luar negeri mendapat julukan pahlawan devisa, para desainer grafis pun setara dalam menyumbang ekonomi negeri.
Mereka memperoleh penghasilan dalam bentuk dolar dan mereka membelanjakannya di dalam negeri sehingga mereka pun menyumbang bertumbuhan ekonomi negeri dan para pejabat negeri ini pun tak perlu repot-repot menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
Ketika kesadaran tentang pentingnya meningkatkan jumlah
pelaku ekonomi kreatif muncul, seperti yang terjadi dalam lima tahun terakhir
ini, kebutuhan untuk menabur benih-benih pelaku ekonomi kreatif kian esensial.
Di zaman ini, ketika teknologi informasi berlangsung dalam skala deret ukur, peluang bagi kerja kreatif agaknya tak terbatas. Itu sebabnya pemerintah perlu memberi perhatian ekstra pada bidang profesi yang bisa dimasuki oleh siapa saja ini, tanpa terfragmentasi dalam kualifikasi akademis sekalipun.
Peluang yang terbuka di dunia kerja kreatif telah memperlihatkan beragam fenomena menarik. Mari tengok satu contoh di dunia musik dangdut. Pesohor yang tak berpijak pada landasan ilmu bangku sekolah antara lain Inul Daratista, yang kini tanpa bekal ilmu musik telah sanggup menjadi seorang komentator pada sebuah acara kompetisi olah vokal di jalur dangdut di sebuah stasiun televisi swasta.
Tak terbayangkan oleh futurolog manapun dua dasawarsa silam bahwa seorang pedangdut yang berasal dari desa di Jawa Timur, yang memulai popularitasnya dengan kerja otot, terutama di wilayah pinggul dan kaki, tanpa pendidikan khusus bidang musik, bisa menjadi komentator yang sebelumnya diperankan oleh mereka yang sedikit banyak melek keilmuan bermusik.
Ya itulah dunia kreatif yang kini sedang mekar-mekarnya. Inul menjadi ikon pelaku ekonomi kreatif. Bukan sekolahan yang melahirkan insan sekelas Inul. Kerja kerasnya tentu saja yang memberi imbalan sepadan pada wanita yang diberkati keberuntungan materi ini.
Meski tak memeras otaknya dalam pengertian berpikir ilmiah, Inul dengan jerih payahnya yang antara lain berlatih mengangkat barbel untuk menunjang vitalitas aksi panggungnya, akhirnya sukses menjadi pelaku ekonomi kreatif yang layak dicatat dalam sejarah. Kerja kreatifnya dipercaya oleh pemodal untuk membuka waralaba bisnis karaoke yang paling popular di negeri ini.
Apa yang bisa dipetik dari satu pelajaran dalam hidup Inul adalah bahwa orangtua harus membuka kemerdekaan seluas-luasnya bagi anak-anak mereka untuk memilih apapun bidang kerja kreatif yang mereka minati.
Sampai saat ini masih ada orangtua yang masih berpikiran kolot dalam mengarahkan anak-anak mereka dalam memasuki profesi untuk bekal hidup mereka. Ada satu cerita faktual tentang seorang remaja yang memiliki suara emas dan dia begitu nyaman untuk mengeksploitasi suara mereka dalam mendedangkan lagu-lagu, pop maupun dangdut.
Namun, pada saat yang sama remaja itu dapat peluang diterima bekerja di sebuah bank, sebuah profesi yang dibanggakan oleh orangtua. Remaja itu bertekad keluar dari pekerjaannya di bank dan memilih berkiprah di dunia tarik suara, yang kebetulan adalah dangdut. Lewat ajang kompetisi tarik suara dangdut, remaja itu lolos terseleksi untuk bertarung, mempertaruhkan nasibnya dengan bersaing dalam kontes dangdut.
Dia tak memberitahu orangtuanya saat keluar dari pekerjaannya di sebuah bank tersebut dan memilih beradu nasib di pentas kompetisi tarik suara dangdut. Remaja seperti inilah yang akan mewarnai pelaku ekonomi kreatif di masa depan. Dia punya nyali keluar dari zona nyaman.
Indonesia perlu anak-anak muda yang punya nyali untuk berjuang mengadu nasib di wilayah yang tak menjanjikan kepastian. Tapi kepastian bukanlah karakter kerja kreatif. Kepastian mendapat gaji setiap bulan seperti menjadi pekerja lembaga negara atau pabrik bukanlah wahana subur bagi aksi kreatif.
Dalam konteks ini pula, negara perlu mengapresiasi para pelaku ekonomi kreatif dari bidang-bidang lain seperti disainer grafis, pesohor dunia hiburan, seniman yang penghasilannya dikeruk dari industri yang berbasis di luar negeri.
Di dunia desain grafis, misalnya, ada ribuan para pekerja kreatif yang penghasilannya datang dari lembaga-lembaga bisnis mancanegara. Mereka bekerja atas kreativitas mereka dalam merancag disain yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan asing yang tersebar di luar negeri. Jika selama ini para pekerja Indonesia di luar negeri mendapat julukan pahlawan devisa, para desainer grafis pun setara dalam menyumbang ekonomi negeri.
Mereka memperoleh penghasilan dalam bentuk dolar dan mereka membelanjakannya di dalam negeri sehingga mereka pun menyumbang bertumbuhan ekonomi negeri dan para pejabat negeri ini pun tak perlu repot-repot menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
Di zaman ini, ketika teknologi informasi berlangsung dalam skala deret ukur, peluang bagi kerja kreatif agaknya tak terbatas. Itu sebabnya pemerintah perlu memberi perhatian ekstra pada bidang profesi yang bisa dimasuki oleh siapa saja ini, tanpa terfragmentasi dalam kualifikasi akademis sekalipun.
Peluang yang terbuka di dunia kerja kreatif telah memperlihatkan beragam fenomena menarik. Mari tengok satu contoh di dunia musik dangdut. Pesohor yang tak berpijak pada landasan ilmu bangku sekolah antara lain Inul Daratista, yang kini tanpa bekal ilmu musik telah sanggup menjadi seorang komentator pada sebuah acara kompetisi olah vokal di jalur dangdut di sebuah stasiun televisi swasta.
Tak terbayangkan oleh futurolog manapun dua dasawarsa silam bahwa seorang pedangdut yang berasal dari desa di Jawa Timur, yang memulai popularitasnya dengan kerja otot, terutama di wilayah pinggul dan kaki, tanpa pendidikan khusus bidang musik, bisa menjadi komentator yang sebelumnya diperankan oleh mereka yang sedikit banyak melek keilmuan bermusik.
Ya itulah dunia kreatif yang kini sedang mekar-mekarnya. Inul menjadi ikon pelaku ekonomi kreatif. Bukan sekolahan yang melahirkan insan sekelas Inul. Kerja kerasnya tentu saja yang memberi imbalan sepadan pada wanita yang diberkati keberuntungan materi ini.
Meski tak memeras otaknya dalam pengertian berpikir ilmiah, Inul dengan jerih payahnya yang antara lain berlatih mengangkat barbel untuk menunjang vitalitas aksi panggungnya, akhirnya sukses menjadi pelaku ekonomi kreatif yang layak dicatat dalam sejarah. Kerja kreatifnya dipercaya oleh pemodal untuk membuka waralaba bisnis karaoke yang paling popular di negeri ini.
Apa yang bisa dipetik dari satu pelajaran dalam hidup Inul adalah bahwa orangtua harus membuka kemerdekaan seluas-luasnya bagi anak-anak mereka untuk memilih apapun bidang kerja kreatif yang mereka minati.
Sampai saat ini masih ada orangtua yang masih berpikiran kolot dalam mengarahkan anak-anak mereka dalam memasuki profesi untuk bekal hidup mereka. Ada satu cerita faktual tentang seorang remaja yang memiliki suara emas dan dia begitu nyaman untuk mengeksploitasi suara mereka dalam mendedangkan lagu-lagu, pop maupun dangdut.
Namun, pada saat yang sama remaja itu dapat peluang diterima bekerja di sebuah bank, sebuah profesi yang dibanggakan oleh orangtua. Remaja itu bertekad keluar dari pekerjaannya di bank dan memilih berkiprah di dunia tarik suara, yang kebetulan adalah dangdut. Lewat ajang kompetisi tarik suara dangdut, remaja itu lolos terseleksi untuk bertarung, mempertaruhkan nasibnya dengan bersaing dalam kontes dangdut.
Dia tak memberitahu orangtuanya saat keluar dari pekerjaannya di sebuah bank tersebut dan memilih beradu nasib di pentas kompetisi tarik suara dangdut. Remaja seperti inilah yang akan mewarnai pelaku ekonomi kreatif di masa depan. Dia punya nyali keluar dari zona nyaman.
Indonesia perlu anak-anak muda yang punya nyali untuk berjuang mengadu nasib di wilayah yang tak menjanjikan kepastian. Tapi kepastian bukanlah karakter kerja kreatif. Kepastian mendapat gaji setiap bulan seperti menjadi pekerja lembaga negara atau pabrik bukanlah wahana subur bagi aksi kreatif.
Dalam konteks ini pula, negara perlu mengapresiasi para pelaku ekonomi kreatif dari bidang-bidang lain seperti disainer grafis, pesohor dunia hiburan, seniman yang penghasilannya dikeruk dari industri yang berbasis di luar negeri.
Di dunia desain grafis, misalnya, ada ribuan para pekerja kreatif yang penghasilannya datang dari lembaga-lembaga bisnis mancanegara. Mereka bekerja atas kreativitas mereka dalam merancag disain yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan asing yang tersebar di luar negeri. Jika selama ini para pekerja Indonesia di luar negeri mendapat julukan pahlawan devisa, para desainer grafis pun setara dalam menyumbang ekonomi negeri.
Mereka memperoleh penghasilan dalam bentuk dolar dan mereka membelanjakannya di dalam negeri sehingga mereka pun menyumbang bertumbuhan ekonomi negeri dan para pejabat negeri ini pun tak perlu repot-repot menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
Tag :
News
0 Komentar untuk "Peran Dangdut Sebagai Salah Satu Industri Kreatif"