Kata
orang rupiah bukan segalanya. Namun, segalanya akan susah tanpa rupiah. Manusia
makhluk bebas, tapi kebebasan itu ada harganya Untuk memiliki dan menikmati
kebebasan, orang perlu uang, butuh rupiah. Seolah memang tak ada yang gratis: there
is nothing free lunch. Tak heran
jika banyak orang hidup dan bekerja untuk rupiah. Bahkan, Bang Haji Rhoma Irama
mengapresiasi rupiah dengan lagu: Rupiah. Berikut sebagian liriknya:
Tiada
orang yang tak suka
Pada
yang bernama rupiah
Semua
orang mencarinya
Di
mana rupiah berada
Walaupun
harus nyawa sebagai taruhannya
Banyak
orang yang rela cuma karena rupiah
Memang
sungguh luar biasa
Itu
pengaruhnya rupiah
Saya pernah baca sebuah buku. Sejak muncul
3000 tahun yang lalu di Afrika Utara, uang punya pengaruh luar biasa. Kendati
uang “per se” tidak bermakna apa-apa, tetapi sejauh dikaitkan dengan
manusia, uang sangat berpengaruh, punya arti, punya misi. Meski uang barang
netral, tapi uang punya efek “mengubah” hal-hal yang ia sentuh. Selama
berabad-abad, mitologi dan sastra Barat suka mengisahkan jatuh bangun manusia
dalam proses meraih atau menghabiskan uang. Begitu pula dalam sejarah kita,
uang punya peran sangat besar.
Saat ini
rupiah geger, rupiah diperdebatkan dan rupiah dikhawatirkan. Nilai tukar rupiah
(18 Maret 2015) anjlok di level terendah, yakni Rp 13.245 per dolar Amerika
Serikat (USD). Meski mata uang di sejumlah negara juga melemah, kondisi rupiah
tergolong paling parah. Tulisan ini tidak membahas penyebab jatuhnya rupiah,
tidak pula membahas langkah-langkah untuk “menyelamatkan” rupiah. Selama
anak-anak kita masih bisa sekolah, tak apalah dengan kondisi rupiah. Sekalipun
dibenci, rupiah tetap dicintai.
Rupiah
kita memang selalu “panas dingin”. Ada yang menyebut rupiah adalah salah satu
mata uang yang masuk kategori “troubled currency” (gampang anjlok nilai
tukarnya). Lihatlah perjalanan sejarah rupiah, khususnya bila dibanding dengan
mata uang asing USD. Misalnya, 7 Maret 1946, terjadi devaluasi (nilai tukar
turun) rupiah 29.12%. USD 1 = Rp 1.88, menjadi Rp 2.6525 per USD. Jadi, ketika
itu rupiah termasuk kuat. Februari 1952, rupiah didevaluasi 66.67%. USD 1 = Rp
3.80 menjadi Rp 11.40 per USD. Tahun 1964, 1 USD = Rp 250. Namun, di pasar
gelap, nilainya bisa Rp 2.000 per USD.
Bayangkan,
April 1964, rupiah jadi Rp 10.000 per USD. Pada November 1964 bahkan menjadi Rp
28.000 per USD. Dan yang paling parah, Desember 1965, rupiah anjlok menjadi Rp
35.000 per USD seiring jatuhnya rezim Soekarno. Yang tidak bisa dilupakan 13
Desember 1965 ketika pemerintah mengubah nilai uang lama Rp 1.000 dengan uang
baru senilai Rp 1. Menjelang tumbangnya Soeharto, rupiah juga menjadi saksi.
Pada
awal krisis moneter, sekitar Oktober 1997, rupiah yang masih bernilai Rp 2.300
per USD dengan cepat merosot menjadi Rp 5.000, kemudian terus terjun bebas
menjadi Rp 10.000, dan puncaknya pada April 1998 menjadi Rp 17.200 per USD. Itu
berarti rupiah terdevaluasi 750% dalam setahun. Soeharto lengser pada 21 Mei
1998. Jadi, begitulah dalam sejarahnya, rupiah terkoreksi, terdepresiasi,
bahkan terdevaluasi.
Tidak
hanya itu, rupiah juga terbajak. Tahun 1975 lagu “rupiah” Bang Haji dibajak
orang. Rupiah jadi pertengkaran, bahkan sampai masuk pengadilan. Betapa tidak,
ketika lagu tersebut masih dalam wujud “master”, ternyata sudah dinyanyikan
penyanyi lain dengan musik yang lain, bukan Soneta Group. Konon, Bang Haji
bersama personel Soneta formasi pertama sedang menunaikan ibadah haji. Sepulang
dari Mekkah, Bang Haji harus menghadapi kenyataan pahit: lagunya dibajak.
Nanang
Kosim (penyanyi qasidah dan juara MTQ Nasional) membawakan lagu “Rupiah”. Bang
Haji mengadu ke Pengadilan. Singkat cerita, produser Remaco, Yougene Timoti-lah
yang “menggadaikan” lagu Rupiah Bang Haji. Namun, untung tak dapat diraih,
malang tak dapat ditolak, putusan pengadilan tidak menganggap produsernya itu
bersalah. Bagaimana kelanjutan nasib Bang Haji kala itu? Apakah mengajukan
banding, kasasi atau peninjauan kembali (PK), beliau menjawab: Santaiiii....!!!
Itu kiranya yang kita perlukan saat rupiah anjlok: Santaiii...!!!
Tag :
bisnis
0 Komentar untuk "Panas Dingin Rupiah dan Nasib Bang Haji"