Pilkada langsung
dan serentak memberikan harapan (baru), terutama bagi warga kota. Harapan mereka
terletak pada sejauh
mana aktor/kandidat nanti mampu menjadikan kota tempat tinggal mereka sebagai situs pengharapan, semaian kebahagiaan dan
ruang bagi kehidupan yang lebih manusiawi. Kebutuhan mereka adalah tinggal di lingkungan
kota yang baik dan ramah. Sebab, selama ini kota memainkan lakon dilematis bagi
jutaan orang: memimpikan kemakmuran, tapi menjerembabkan dalam penderitaan. Kota
menjadi monster, memangsa dan mengempaskan ribuan impian mereka.
Over populasi,
tekanan ekonomi dan konflik sosial yang terjadi di kota menebar kesengsaraan
dan pesimisme berkepanjangan. Kota sering mengalami krisis, tak memberikan
jaminan bagi warganya untuk menata hidup bahagia. Kota memicu kecemasan tanpa
akhir akibat kegagalan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Kini, idealitas
perkembangan kota di Indonesia mulai berkabar menggembirakan. Idealitas
kehidupan kota memang sulit diwujudkan, tetapi wajib diusahakan. Kita mendapati
sejumlah kepala daerah yang mampu menggerakkan gairah perubahan idealitas kota
secara kreatif.
Mereka adalah
“para pemimpin baru” yang lahir dari rahim pilkada langsung. Sebut saja Joko Widodo
(mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta), Basuki Tjahya Purnama/Ahok (Gubernur
DKI Jakarta), Tri Rismaharini (Walikota Surabaya), Ridwan Kamil (Walikota
Bandung), Bima Arya (Walikota Bogor) dan Abdullah
Azwar Anas (Bupati Banyuwangi). Mereka bukan sekedar pemimpin yang baik,
tetapi pemimpin dengan kekhasan karakter, kebernasan gagasan dan keliaran visi
perubahan sehingga membangkitkan rasa kepercayaan warganya.
Mereka adalah pemimpin yang sama sekali tidak
mempedulikan bagaimana bisa dipilih ulang, tetapi mempedulikan bagaimana
keterpilihannya dijadikan pintu masuk bagi rekonstruksi tata kelola
pemerintahan kota secara sistemik. Menjadi pemimpin daerah/walikota tanpa
kobaran ambisi dan modal membuat mereka tidak mengalami konflik kepentingan dan
berani bertindak: nothing to lose. Para walikota kreatif ini punya
kemampuan mengelola kota, membuat program terobosan untuk mengubah wajah kota
besar-besaran menjadi layak dan nyaman. Bahkan, kerja mereka diakui dunia.
Siapa yang tidak mengenal Tri Rismaharani. Dalam
waktu relatif singkat, Surabaya yang dalam istilah Lewis Mumford (1983)
dilukiskan sebagai kota “heterogenik” (penuh ambigu, kumuh, kekerasan,
kemiskinan, disintegrasi dan anarki) bisa disulap sedemikian rupa sehingga
menajdi kota yang “ortogenetik” (mengekspresikan tatanan keindahan, keadaban
dan keadilan sebuah kota). Kemudian, Abdullah
Azwar Anas mampu menggerakkan agenda pembangunan dengan berbasis keragaman,
humanisme dan welas asih. Ia berkomitmen menjadikan Banyuwangi menjadi tempat bergemilang
cinta dan kasih sayang.
Semangat welas asih menempatkan Banyuwangi
masuk dalam jajaran 40 kota welas asih di berbagai negara dunia. Tak
ketinggalan Ridwan Kamil yang mampu menata kota Bandung menjadi kota layak
dicintai. Sebagai pemimpin berlatar arsitek yang berusia muda, kreativitas
program dalam memanfaatkan ruang-ruang terbuka menjadi pusat aktivitas warga
patut kita acungi jempol. Geliat membangun Kota Kembang diwujudkan dengan
merangkul anak-anak muda untuk memaksimalkan media sosial. Hasilnya, program
yang di-share via facebook atau twitter mampu mendatangkan sukarelawan
lebih dari 10 ribu warga.
Ini hanya sekelumit hal ihwal tentang bagaimana
perubahan kota mengartikan ada
perubahan gagasan, imajinasi, karakter, mentalitas pemimpin dan warganya.
Momentum pilkada langsung dan serentak yang rencananya akan digelar Desember
2015 mendatang haruslah melahirkan pemimpin-pemimpin daerah atau walikota yang
bisa membangkitkan harapan bagi warganya. Membangun dan manata kota dengan
jumlah penduduk yang padat tentu bukanlah pekerjaan mudah. Selain merawat
harapan, pemimpin daerah (kota) harus mampu menjaga kepercayaan warganya.
Kota adalah milik bersama. Hidup di kota
memungkinkan warga menanam harapan-harapan dan menuai kebahagiaan. Pemimpin
kota harus mampu menjaga kepercayaan warga bahwa pajak yang dibayarkan tidak
dikorupsi, melainkan untuk menata dan membangun fasilitas kota yang nyaman dan
aman. Di kota, geliat membangun dan menata adalah keharusan bagi calon pemimpin
kota. Kesanggupan pimpinan kota mengatasi
masalah menebar harapan. Sebaliknya, kegagalan merampungi pelbagai masalah hanya
menjadikan kota tak lebih dari sekedar situs kesengsaraan dan antologi frustasi
bertajuk satire kota.
Tag :
Polhuk
0 Komentar untuk "Pilkada dan Geliat Membangun Kota"