Siapa yang tidak
kenal dengan Albert Einstein? Ilmuan genius, fisikawan, teori relativitas, E = mc² dan sakabrek brand” ketika kita
mendengar nama Einstein. Lahir di Jerman 14 Maret 1879, tahun yang sama ketika
Stalin juga lahir yang konon menjadi pemimpin diktator kejam di Uni Soviet,
tahun ketika Padang Lawas di Sumatera Utara di taklukkan Belanda, dan tentunya tahun
ketika Nusantara belum menjadi Indonesia.
Ilmuan yang menjadi
“Tokoh Abad Ini” di Majalah Time tahun 1999, majalah berita
mingguan nomer wahid di Amarika Serikat, bukanlah seorang peramal. Einstein
bukan seperti Ki Joko Bodo yang pandai meramal jodoh dan karier para
selebritis, atau meramal SBY tumbang saat pohon Trembesi di Istana negara juga tumbang.
Bukan pula Ki Kusumo yang meramal capres “kuda hitam” yang menang, bukan Jokowi
saat Pilpres 2014 kemarin. Namun, Einstein entah tahun berapa pernah “meramal”
dengan kata-kata “Aku takut pada hari dimana teknologi akan melampaui
interaksi manusia. Dunia akan memiliki generasi yang idiot”.
Apa maksudnya?
Silahkan ditafsir menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Sebuah teks,
kata seorang pakar semiotika Roland Barthes, adalah milik pembaca. Penulis
menurutnya dianggap telah mati, dan betul sekali Einstein telah meninggal pada 18
April 1955 silam. Tapi bukan itu maksudnya. Mari kita sing out sejenak,
kita lihat di sekitar kita, di kos-kosan (bagi yang ngekos), di kampus (bagi
yang beruntung bisa kuliah), tempat nongkrong (bagi yang mungkin lagi bete, atau
bagi yang sekedar pingin ngopi sambil ngobrolin ruwetnya persoalan
negeri), atau kita tengok anak-anak kita atau adik-adik kita.
Hampir semua (hampir
lho) memegang gadget, smartphone, tablet, dengan berbagai macam merek,
jenis, tipe dan lain sebagainya. Hidup di zaman ini memang serba canggih,
“tuntutan” zaman teknologi. Sebuah zaman modern atau bahkan melampaui modern (postmodern)
sebagai imbas dari apa yang disebut Friedrich dan Louis Auguste Blanqu sebagai “Revolusi
Industri” di Inggris pertengahan abad ke-19. Hadirnya teknologi semula
digunakan untuk mempermudah tugas manusia sebagai khalifah di bumi. Namun, saat
ini, hidup berteknologi telah “melampaui interaksi manusia”.
Kita tidak perlu
lagi bertanya kenapa, karena itu hanya akan melukai perasaan kita sendiri. Sakitnya
tuh di sini!, kata Cita Citata. Tapi kita perlu sejenak melihat infografik
dari seorang analis Horace H. Dediu bahwa Indonesia berada di posisi keenam
sebagai negara pengguna smartphone terbesar di dunia dengan pengguna aktif
sebanyak 47 juta, atau sekitar 14% dari seluruh total pengguna ponsel.
Sementara riset yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo)
mencatat pengguna Internet di Indonesia saat ini mencapai 73 juta atau sekitar
29 % dari total populasi. Dari jumlah pengguna internet itu sekitar 58,4 persen
rata-rata di usia 12 hingga 34 tahun.
Ketergantungan
pengguna gadget di Indonesia juga terbilang tinggi. Riset yang dilakukan
Milward Brown tahun 2014, pengguna gadget di Indonesia menghabiskan waktu rata-rata
9 jam dari 24 jam per hari. Ini hanya beberapa hasil riset, tentunya bisa diuji
lagi, dibantah, diverifikasi, bahkan difalsifikasi. Namun, paling tidak dari
hasil temuan-temuan itu kita tentu menyepakati bahwa gadgat menghipnotis
manusia untuk betah melototin “layar”, berselancar di dunia maya berlama-lama.
Kita juga tidak
bisa serta merta menjustifikasi secara sinis bahwa pengguna gadget adalah “generasi
yang idiot” seperti tuduhan Einstein. Karena kita tidak tahu “idiot” yang
dimaksud Einstein zaman itu apa. Gambaran idiot versi Einstein tentu juga bukan
seperti cerita dalam film Bollywood Three Idiots yang diperankan oleh Aamir Khan dan Kareena Kapoor tahun 2009 lalu. Kita hanya bisa
menggaris bawahi bahwa fenomena gadgat menggambarkan evolusi perilaku manusia
dari makhluk sosial menjadi makhluk media sosial.
Hanya itu saja
tidak lebih. Silahkan kalau ada yang tidak setuju. Sesuatu yang diciptakan oleh
Tuhan selalu berpasang-pasangan. Ada malam ada siang, ada laki-laki ada
perempuan, ada negatif ada positif, ada baik ada buruk. Manusia bijak terletak
pada kemampuannya untuk memaksimalkan potensi “baik/positif” dan meminimalkan
potensi “buruk/negatif” setiap sesuatu, termasuk dalam hal berteknologi.
Kita hanya
mendambakan anak-anak kita kelak bisa bermain (lagi) di belakang rumah dengan
tanah, membuat pesawat atau kapal selam, bermain air di tengah sawah, memancing
ikan di kali agar mereka menjadi manusia yang kaya akan imajinasi.
Tag :
lifestyle
0 Komentar untuk "Evolusi Einstein, Dari Makhluk Sosial ke Mahkluk (Media) Sosial"