Setelah lebih dari 100 hari memimpin
negeri, Presiden Jokowi meninggalkan jejak semiotik yang menarik. Dikabarkan
derajat kepopuleran sang presiden menurun signifikan. Itu terlihat dari riset
yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Teknologi dan Informasi (LPTI) Pelataran
Mataram Yogyakarta terhadap perbincangan Jokowi di sosial media. Dalam dua
bulan terakhir (Januari-Februari 2015) sentimen positif dari netizen terhadap
Jokowi turun sebesar 51 persen, lebih rendah dibanding kinerja sejumlah
kementerian.
Meski popularitas menurun, Jokowi
tidak perlu khawatir akan kehilangan kepercayaan publik. Situasi keributan (sengaja
dibikin ribut) antara KPK dan Polri sekitar satu bulan lebih membuat publik
khawatir, meski sebenarnya bingung. Akhirnya, berbagai macam “penilaian”
terhadap sikap presiden muncul dan merebak di mana-mana, termasuk di sosial
media. Ada yang marah, ada yang kecewa, ada yang mengutuk, bahkan samar-samar
ada yang sudah bicara tentang pelengserannya (impeachment). Betapa labil
pandangan politik mereka.
Seolah tiada jarak antara dukungan
dengan kemarahan, antara kekaguman dengan kekecewaan. Publik mengandaikan
Jokowi adalah pemimpin sempurna bak setengah dewa yang diharapkan bisa
“memuaskan” semuanya, bisa mengatasi segalanya. Tetapi, Jokowi ya tetaplah
Jokowi. Ia mampu menciptakan kondisi bahwa dirinya adalah berita, layak diburu
dan menarik dibaca. Jokowi memahami benar teks dan konteks. Sikapnya
membahasakan teks dengan bersandar pada konteks. Penilaian selama tiga bulan
lebih bukanlah tindakan yang fair, pandangan yang mentah, pembicaraan yang
latah.
Kalau hanya sekedar mau mengkritik,
sehari kerja pun bisa langsung dikritik. Jatah lima tahun sepertinya belum
layak untuk diungkit-ungkit. Kita tahu, Presiden Jokowi ya tetaplah Jokowi.
Bersandang karakter sederhana, polos dan terkadang mengesankan hanya paham akan
ihwal teknis di lapangan belaka. Ada pula kesan posisi tertingginya hanya di
level daerah (gubernur). Untuk menghadapi lawan-lawan politik yang setiap saat bisa
datang menjegal, mengintimidasi, mengonari langkah selama 5 tahun memerintah,
ia tak punya cukup kemampuan.
Untuk merampungkan berbagai “deal-deal
politik” yang agak sedikit kotor, beliau mungkin tak cukup terampil. Tapi
benarkan demikian? Simaklah, kasus pengedar narkoba, musuh utama dunia saat
ini, tak ada toleransi, tak ada kompromi. Ancaman, kecaman dari negara-negara
lain sama sekali tak digubris. Jokowi sadar betul, dengan berbekal kedaulatan
hukum, dugaan awal bahwa ia tak punya nyali, ternyata kita saksikan sendiri:
Jokowi berani! Bagaimana dengan presiden kita sebelumnya yang berdalih menjaga
hubungan internasional, berpamrih citra?
Beliau memang sosok yang punya standar
moralitas tinggi, berkharisma, bersih dan terpuji. Moralitas sosialnya boleh
jadi belum tercatat (tercacat), tetapi apakah seberani, setegas dan seterampil
Jokowi yang menolak grasi dan merestui hukuman mati? Apakah sikap beliau itu
“dipersoalkan” hingga membuat gaduh di media sosial? Kalau seandainya
“dipersoalkan” tentu tak berimbas banyak pada persoalan popularitas.
Langkah melerai dan mengurai konflik
KPK dan Polri juga terbilang cukup cantik. Meskipun tak bisa menyenangkan semua
pihak, tetapi paling tidak Jokowi mampu menyelamatkan pihak-pihak yang
berkepentingan agar mereka tak kehilangan muka. Jokowi terlihat tampil sebagai
petarung yang menguasai medan, tanpa lupa menyapa lawan. Tindakan tidak
melantik Budi Gunawan bisa jadi manis secara politik, bahkan lebih manis secara
diplomatik. Tidak ada ketegasan hukum yang dikorbankan. Standar moral dan
etiknya jelas dan tegas.
Meski demikian, jalan terjal yang akan
dilalui Jokowi dalam memimpin republik ini masih panjang. Strategi permainan
politik yang cantik dan lembut akan selalu berhadapan dengan hasrat kuasa yang
kasar dan tak kasat mata. Karena itu, Jokowi haruslah tetap menjadi Jokowi.
Bersikap layaknya manusia dan apa adanya – bukan adanya apa. Ia harus selalu
hadir dalam setiap percakapan dan persoalan yang dihadapi rakyatnya. Mendengar
menjadi kata kunci, seperti ketika ia menafsir demokrasi.
Rakyat butuh inspirasi agar punya
semangat untuk maju, butuh keluwesan ide-ide baru sebagai terobosan untuk
memecah segala macam kebuntuan. Otentisitas bekerja mengurusi negera bisa
menjadi mantra, sehingga rakyat akan menaruh hormat dan percaya bahwa ia tidak
sedang bersandiwara.
Tag :
Politik
0 Komentar untuk "Meski Popularitasnya Turun, Jokowi Tetaplah Jokowi "